REPUBLIKA.CO.ID, Pada masa awal peradaban manusia, jumlah manusia sangat sedikit. Hanya ada Adam dan Hawa beserta anak-anaknya. Lalu, bagaimana hingga akhirnya jumlah manusia bertambah banyak?
Proses reproduksi manusia yang akhirnya menghasilkan banyak keturunan tidak bisa sembarangan. Hubungan antara dua manusia perlu diatur agar bisa meneruskan keturunan yang lebih baik. Pengaturannya melalui pernikahan.
Lalu, bagaimana Nabi Adam mengatur pernikahan bagi putra-putranya? At-Thaba'thaba'i, penulis Tafsir al-Mizan, menuliskan bahwa pada waktu itu karena hukum larangan pernikahan saudara sedarah atau kandung belum diturunkan, mau tak mau pernikahan dilakukan sesama saudara. “Generasi manusia tidak dapat dipertahankan dan lestari kecuali melalui jalan ini,” katanya.
Ibnu Katsir mengemukakan dalam Qashah al-Anbiyaa' bahwa setiap kali mengandung, Hawa kemudian melahirkan dua anak kembar, laki-laki dan perempuan. “Adam diperintahkan untuk menikahkan anak laki-lakinya dengan putri dari kembaran anak laki-laki yang lain, dan seterusnya,” tulisnya.
Ini berarti Allah telah memberikan petunjuk agar manusia terus melanjutkan keturunannya. Namun, dalam kasus Nabi Adam ini, yang dibolehkan adalah pernikahan silang, bukan dengan saudara kembar yang lahirnya bersamaan dengannya. “Tidak dihalalkan menikah dengan saudara kembarnya sendiri,” katanya.
Makin bertambahnya jumlah manusia, pilihan antara laki-laki dan perempuan pun makin banyak. Hingga kemudian pernikahan sesama saudara pun tidak dibenarkan, bahkan pernikahan sesama saudara sepersusuan.
Sejak zaman Nabi Muhammad SAW, hukum ini mulai dijalankan, apalagi diperkuat dengan turunnya surat an-Nisa ayat 23. “Diharamkan atas kamu menikahi ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan.”
Dalam kajian sosioantropologi, hubungan sedarah itu disebut dengan inses. Syariat menikah dengan saudara kandung itu diperbolehkan sebelum datangnya risalah Muhammad SAW. Sejak Rasulullah diutus, ketentuan menikah saudara sedarah itu dihapuskan mutlak.