REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam merupakan agama yang sesuai fitrah manusia. Selain itu, agama ini juga memudahkan insan yang menganutnya. Hal ini ditegaskan langsung oleh Allah SWT dalam Alquran. "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" (QS al-Baqarah: 185).
Kemudahan juga berlaku kala bulan suci Ramadhan. Puasa merupakan suatu kewajiban dalam satu bulan penuh Ramadhan.
Akan tetapi, ada beberapa orang yang dalam situasi dan kondisi tertentu dibolehkan tidak berpuasa kala Ramadhan. Mereka itu adalah sebagai berikut.
Orang sakit
Seorang muslim yang sedang sakit pada Bulan Ramadhan diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Hal itu berdasarkan situasi dan kondisi berikut ini. Pertama, jika ia masih mampu berpuasa tanpa kesukaran, maka ia lebih baik berpuasa. Namun, kalau ia tidak mampu, lebih baik ia berbuka. Kedua, kalau ia masih ada harapan sembuh dari sakitnya, maka ia hendaknya bersabar menunggu sampai ia sembuh, lalu ia membayar (qadha) sebanyak puasa yang ditinggalkannya. Namun, jika tidak ada harapan akan kesembuhannya, maka ia boleh berbuka dan membayar fidyah dengan sejumlah bahan makanan. Fidyah itu diberikan kepada orang miskin sesuai dengan jumlah hari puasa yang ditinggalkannya.
Musafir
Orang yang sedang melakukan perjalanan (musafir)--sejauh yang dibolehkan untuk qasar shalatnya--dibolehkan tidak berpuasa.
Setelah kembali dari perjalanannya, ia akan membayar (qadha) puasa yang ditinggalkannya pada hari-hari di luar bulan Ramadhan.
Firman Allah di dalam Alquran, "Maka, jika diantara kamu ada yang sakit, atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain" (QS. Al Baqarah: 184).
Jika musafir itu dapat berpuasa dalam perjalanannya adalah lebih baik daripada tidak berpuasa, sebagaimana Firman Allah SWT, "Dan berpuasa lebih baik bagi kamu, jika kamu mengetahui" (QS. Al Baqarah: 155).
Lansia dan pekerja berat
Orang yang sudah lanjut usia, baik laki-laki, maupun perempuan diperbolehkan tidak berpuasa jika mereka tidak mampu lagi berpuasa. Demikian juga orang-orang yang bekerja berat sebagai mata pencahariannya, seperti orang-orang yang bekerja di dalam pertambangan, atau orang-orang yang telah dihukum dengan kerja paksa, sehingga sulit sekali melakukan puasa.
Mereka semuanya dapat mengganti hari-hari puasa mereka dengan fidyah, sebagaimana firman Allah SWT, "Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa), membayar (yaitu), memberi makan seorang miskin." (QS. Albaqarah: 184).
Hamil dan menyusui
Perempuan yang sedang hamil atau menyusui, dibolehkan tidak berpuasa. Hanya di dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dikalangan Ulama.
Menurut Ibnu Umar dan Ibnu Abbas RA, Apabila perempuan hamil dan perempuan yang menyusui khawatir atas dirinya dan anaknya, maka keduanya boleh berbuka, dan wajib memberi fidyah. Ia tidak meng-qadha puasa yang telah ditinggalkannya.
Menurut Imam Syafi'i dan Imam Ahmad, jika keduanya hanya khawatir atas anaknya saja lalu ia berbuka, maka keduanya wajib qadha dan fidyah. Jika keduanya khawatir pada dirinya saja, atau khawatir pada dirinya dan anaknya, maka keduanya wajib fidyah saja, tanpa qadha.
Adapun menurut para ulama mazhab Hanafiah, dan Abu Ubai, serta Abu Tsaur, perempuan yang hamil dan yang menyusui, hanya wajib qadha, tanpa fidyah. Wallahu'alam.