Kamis 30 Apr 2020 17:05 WIB

Penggunaan Jenazah untuk Penelitian, Bagaimana Hukumnya?

Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum penggunaan jenazah untuk penelitian

Pegawai rumah sakit dan pegawai layanan pemakaman memindahkan jenazah dari kamar mayat sementara di luar Pusat Rumah Sakit Brooklyn di Brooklyn, New York, AS, Rabu (8/4). New York masih tetap menjadi pusat penyebaran wabah koronavirus di Amerika Serikat, sehingga masih ada kekhawatiran bahwa sistem layanan kesehatan tidak akan dapat mengurus volume pasien COVID-19
Foto: EPA-EFE/Alba Vigaray
Pegawai rumah sakit dan pegawai layanan pemakaman memindahkan jenazah dari kamar mayat sementara di luar Pusat Rumah Sakit Brooklyn di Brooklyn, New York, AS, Rabu (8/4). New York masih tetap menjadi pusat penyebaran wabah koronavirus di Amerika Serikat, sehingga masih ada kekhawatiran bahwa sistem layanan kesehatan tidak akan dapat mengurus volume pasien COVID-19

REPUBLIKA.CO.ID, Penggunaan kadaver (cadaver) atau jenazah yang sudah diawetkan untuk penelitian sudah lazim sebagai objek belajar mahasiswa fakultas kedokteran.

Mereka akan mendapatkan kadaver untuk mengenal anatomi manusia dan bagaimana mengobati manusia hidup. Kadaver biasa digunakan dalam praktikum. Selain relawan yang memang berwasiat untuk menjadi kadaver setelah wafat, kadaver juga menggunakan jasad orang tanpa identitas.

Sebenarnya bagaimana Islam mengatur penggunaan jenazah untuk keperluan penelitian? Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum penggunaan jenazah untuk penelitian. Untuk ulama yang melarang, mereka menggunakan dalil jikalau Allah SWT memuliakan manusia daripada makhluk lainnya.

"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut me reka di daratan dan di lautan. Ka mi beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebih kan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan." (QS al-Isra:70).

Dosen Institut Ilmu Quran (IIQ) DR KH Ahmad Munif Suratmaputra menjelaskan, mufti Mesir Muhammad Bukhet al- Mith-'i adalah salah satu ulama yang berpendapat jikalau jenazah hanya boleh untuk dua keperluan. Pertama, mengambil harta orang; seperti permata yang tersimpat dalam perut jenazah. Beri kutnya, untuk menyelamatkan janin di perut ibunya yang me ning gal. Jika untuk penelitian, tidak dibolehkan (la yazuuz).

Sementara itu, mufti Mesir lainnya, Syekh Yusuf ad-Dawi, menyatakan, hukum menjadikan jenazah sebagai objek penelitian bagi para mahasiswa di fakultas kedokteran adalah mubah, dengan dalil qiyas aulawi dan kaidah darurat. Penggunaan mayat ini dianalogikan dengan kebolehan melakukan pembedahan terhadap perut jenazah perempuan hamil untuk menyelamatkan janin yang masih hidup dan berada di dalam kandungannya.

Ahmad Munif mengungkapkan, perbedaan itu berpangkal pada perbedaan memahami hadis Nabi kepada penggali kubur agar tidak merusak tulang-belulang yang didapatkan dari kuburan. "Engkau jangan merusak tulang itu, karena merusak tulang seseorang yang telah meninggal sama dengan merusak tulang seseorang yang masih hidup," sabda Nabi, diriwayatkan oleh Imam Malik, Ibn Majah, dan Abu Daud.

Pendapat yang melarang operasi perut jenazah berasal dari pemahaman hadis itu secara mutlak, dalam kondisi apa pun. Sedangkan, alasan pendapat yang membolehkan adalah darurat, seperti operasi menyelamatkan janin dan mengambil harta dari dalam tubuh mayat. Operasi bedah mayat dengan operasi pembedahan perut wanita hamil yang sudah meninggal untuk menyelamatkan janin sama-sama bertujuan untuk menyelamatkan nyawa orang. Meski dari satu sisi hal tersebut merusak kemuliaan mayat, kebermanfaatan bagi orang yang hidup lebih utama.

Syekh Abdul Majid Sulem, mufti Mesir yang lain, dalam Al- Fatawa al-Islamiyah, berkomentar terhadap hadis tadi. Menurut Syekh Abdul Majid, hadis itu berlaku bila tidak ada kemaslahatan lebih krusial (maslahah rajihah). Bila ada kemaslahatan lebih krusial yang ingin diraih, seperti menyelamatkan janin, termasuk pengecualian.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 12 Tahun 2007 tentang Penggunaan Jenazah untuk Kepentingan Penelitian melansir kaidah fiqhiyyah yang harus diperhatikan dalam masalah ini. Pertama, mencegah ke mafsadatan (keburukan) lebih di dahulukan daripada menarik kemaslahatan. Penelitian jenazah dimaksudkan untuk mengasah keterampilan para calon dokter agar mengenali anatomi tubuh.

Ilmu yang didapatkan para dok ter ini pun akan mencegah mere ka melakukan kekeliruan manakala sudah mendapatkan lisensi praktik. Tak hanya itu, kehormat an seseorang yang hidup lebih agung daripada kehormatan seseorang yang mati.

MUI pun mempertimbangkan fatwa Syekh Yusuf ad-Dawi da lam memutuskan masalah ini. Ka rena itu, MUI lantas memutus kan jika penggunaan jenazah un tuk kepentingan penelitian dibo lehkan dengan beberapa ketentuan.

Pertama, penelitian tersebut bermanfaat untuk pengembangan keilmuan, mendatangkan kemas la hatan yang lebih besar; yaitu memberikan perlindungan jiwa (hifzh an-nafs), bukan hanya untuk kepentingan praktik semata. Sementara, media penelitian hanya bisa dilakukan dengan media manusia. Penelitian terhadap je nazah harus dilakukan seperlunya. Jika penelitiannya sudah selesai, jenazah harus segera dikuburkan sesuai dengan ketentuan syariat.

Peneliti harus mendapatkan izin dari jenazah yang akan dijadikan objek penelitiannya ketika hidup. Izin tersebut dapat diperoleh melalui wasiat, izin ahli wa ris, dan atau izin dari pemerintah. Tak hanya itu, sebelum jenazah digunakan sebagai objek penelitian, hak-hak jenazah harus dipenuhi. Almarhum atau almarhumah harus dimandikan, dikafani, dan dishalatkan. 

sumber : Pusat Data Republika
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement