REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mulai memantau dan melacak kasus-kasus potensial virus corona pada medio Januari, atau lebih sebulan sebelum pemerintah pusat terlambat melaporkan kasus positif Covid-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020.
Gubernur DKI Anies Rasyid Baswedan telah menunjukkan kontradiksi dengan pemerintah pusat, dengan menyatakan, jumlah kasus Covid-19 'jauh lebih tinggi' daripada yang ditunjukkan angka resmi yang dirilis ke publik. "Ini lah saatnya para pembuat kebijakan perlu mempercayai sains (ilmu pengetahuan)," ucap Anies saat diwawancara The Sydney Morning Herald, yang diterbitkan edisi Kamis, 7 Mei 2020.
Dalam kritik pedasnya terhadap respons Pemerintah Indonesia yang dianggap lamban merespon pandemi ini, Anies yang menempuh pendidikan di Amerika Serikat (AS) dilabeli The Sydney Morning Herald, menyerupai sikap Gubernur New York Andrew Cuomo (yang 'melawan' Donald Trump): kedua laki-laki tersebut bertindak cepat untuk mengendalikan virus.
Keduanya (baik Anies maupun Cuomo) harus berhadapan dengan para presiden yang bertindak kurang cekatan, dan keduanya telah memenangkan pujian untuk pekerjaan mereka, yang mencoba menyelamatkan hidup di kota-kota padat penduduk. Jakarta memiliki populasi sekitar 10 juta jiwa, sementara New York City memiliki 8,3 juta jiwa.
Kepada The Sydney Morning Herald dan The Age, Anies mengungkapkan, pada 6 Januari lalu, setelah mendengar tentang kasus pertama virus corona di Wuhan, China, ia langsung bergerak cepat. "Kami mulai mengadakan pertemuan dengan semua rumah sakit di Jakarta, memberi tahu mereka tentang (apa) pada waktu itu kami menyebut (penyakit) 'pneumonia Wuhan'-belum ada (nama) Covid".
Nomor saluran telepon (hotline) dibuat untuk 190 rumah sakit di Jakarta bagi masyarakat yang merasa suspek terkena virus corona, dan ingin berkonsultasi. "Jumlahnya terus meningkat pada Januari, pada Februari, dan kemudian segera kami menetapkan keputusan pemerintah... untuk semua orang di kantor kami-di Pemprov DKI-mereka semua diberi tugas untuk menangani Covid ini," kata Anies.
Anies melanjutkan, "Dan kemudian ketika jumlahnya mulai naik terus, pada waktu itu kami tidak diizinkan melakukan pengujian. Jadi, setiap kali kami memiliki kasus, kami mengirimkan sampel ke laboratorium nasional (yang dikendalikan pemerintah/Kemenkes). Dan kemudian laboratorium nasional akan menginformasikan, positif atau negatif. Pada akhir Februari, kami bertanya-tanya mengapa semuanya negatif?"
Anies menambahkan, "Pada waktu itu saya memutuskan untuk membuka data ke publik, dan saya katakan kami telah memantau, ini lah angkanya. Segera itu semacam ditanggapi oleh Kementerian (Kesehatan) yang mengatakan kami (di DKI) tidak memiliki kasus positif."
Sepanjang Januari dan Februari lalu, Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus berulang kali menyangkal Indonesia memiliki kasus virus corona--meskipun ada banyak bukti yang bertentangan--karena berkat 'kekuatan doa'. Sementara Presiden Joko Widodo (Jokowi) di kesempatan berbeda, telah mengakui menyembunyikan informasi ke masyarakat untuk menghindari kepanikan.
Pemerintah Indonesia sekarang melaporkan angka-angka virus corona setiap hari. Hanya saja, Anies membantah pandangan optimistis pemerintah pusat bahwa Indonesia telah melalui fase terburuk. "Saya belum yakin apakah kita (kurvanya sudah) merata. Kita harus menunggu beberapa pekan ke depan untuk menyimpulkan apakah tren itu sedang merata atau kita masih bergerak naik," katanya.
Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Indonesia, telah menyatakan, kehidupan diperkirakan akan 'normal' pada Juni atau Juli mendatang. Sayangnya, tenggat target itu sekarang tampaknya mundur ke Agustus 2020. Anies mengaku tidak ingin ikut membuat prediksi. "Karena saya melihat data, itu tidak mencerminkan sesuatu yang akan segera berakhir. Itu lah yang dikatakan oleh para ahli epidemiologi. Ini adalah waktu di mana para pembuat kebijakan perlu mempercayai ilmu pengetahuan," kata mantan rektor Universitas Paramadina itu.
Anies juga menyatakan frustrasi dengan kebijakan pemerintah pusat, khususnya dengan Kemenkes, karena kurangnya transparansi. "Dari pihak kami, bersikap transparan dan memberi tahu apa yang harus dilakukan adalah memberikan rasa aman. Tetapi Kementerian Kesehatan merasakan sebaliknya, bahwa transparansi akan membuat panik. Itu bukan pandangan kami."
Untuk mendukung klaimnya bahwa Jakarta memiliki lebih banyak kasus positif Covid-19 daripada angka resmi yang dirilis pemerintah, yaitu 4.770 orang positif dan 414 orang meninggal, Anies mengutip data kenaikan tajam jumlah pemakaman menggunakan protokol Covid-19. Angkanya 4.300 layanan pemakaman pada paruh kedua Maret, dan meningkat menjadi 4.590 pemakaman pada April lalu.