REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pandemi Covid-19 menyebabkan aktivitas perekonomian terganggu termasuk Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Kondisinya dinilai berbeda dengan saat krisis global 1998, waktu itu UMKM bisa bertahan karena bahan baku yang digunakan tidak terpengaruh oleh impor.
Sedangkan sekarang, hampir seluruh negara turut terdampak wabah tersebut. Dengan begitu impor bahan baku terganggu, ditambah permintaan ekspor produk UMKM pun lesu.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjajaran Profesor Ina Primiana menyebutkan, di tengah Covid-19 ini, UMKM terbagi tiga. Pertama, UMKM yang terpukul seperti industri manufaktur, pariwisata, hotel, dan restoran.
Kedua, UMKM yang bertahan meliputi pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan, serta pengangkutan. Lalu ketiga, UMKM yang meningkat antara lain makanan, ritel, teknologi informasi, dan kesehatan.
"Ada berbagai persoalan dalam penanganan UMKM sekarang di antaranya data yang tidak update dan keterbatasan penggunaan teknologi bagi pelaku usaha mikro dan kecil," ujar Prof Ina dalam Diskusi Webinar ICMI Organisasi Wilayah Jawa Barat pada Selasa, (12/5).
Maka, ia mengusulkan empat kebijakan afirmatif demi menyelamatkan UMKM terdampak Covid-19. Pertama, biarkan UMKM tetap berproduksi atau usaha, namun berikan edukasi protokol kesehatan, baik bagi dirinya sendiri maupun pembeli. Pelaku usaha yang ingin beroperasional pun harus mendaftar dahulu kepada RT atau RW, supaya pelaksanaannya bisa dipantau.
"Perhatikan sektor yang bertahan dan meningkat di masa pandemi. Edukasi pula mereka cara-cara berjualan online dan packaging," katanya.
Kedua, pemerintah harus memberikan bantuan stumulus yang tepat. Tepat berarti, tepat waktu, tepat UMKM, serta tepat skema. Usulan ketiga, UMKM perlu dihubungkan dengan usaha besar yang serumpun.
"Pemerintah mencarikan link bagi UMKM untuk menjadi bagian dari rantai pasok bagi usaha besar atau BUMN. Ke depannya, dapat menumbuhkan peluang menghasilkan produk subtitusi impor," ujar Prof Ina.
Ia menyebutkan, UMKM di Indonesia baru sekitar enam persen yang menjadi pemasok usaha besar atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sementara di Malayasia, sebanyak 46,2 persen UMKM sudah terhubung dengan usaha besar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pun, Industri Besar Sedang (IBS) dan Industri Kecil Menengah (IKM) di Tanah Air, yang tumbuh dan serumpun tidak lebih dari 40 persen.
Usulan keempat, lanjut Prof Ina, yakni membesarkan ulang UMKM atau pre-scalling up. Jadi, UMKM yang mendapat bantuan harus didampingi supaya bisa pre-scalling up selama pandemi.
"Ini terkait pengembangan bisnisnya, misal go digital dan penggunaan cara-cara baru memasarkan produk. Sekarang baru lima persen UMKM yang berjualan online, mayoritas belum bisa memaksimalkan peluang bisnisnya atau tidak bisa memaksimalkan peluang yang ada," tuturnya.
Membesarkan ulang UMKM, lanjut dia, bisa pula dengan menetapkan berbagai produk UMKM yang bisa masuk pengadaan pemerintah. Dengan begitu turut mengurangi barang impor.