Rabu 13 May 2020 15:18 WIB

Ekonom: Asumsi Makro 2021 Realistis

Indikator paling realistis dalam asumsi makro 2021 adalah target inflasi.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Ketua DPR Puan Maharani (kanan) didampingi Wakil ketua DPR Aziz Syamsuddin (kedua kanan) dan Rachmat Gobel (kiri) menerima dokumen dari Menteri Keuangan Sri Mulyani (kedua kiri) pada Rapat Paripurna masa persidangan III 2019-2020, di Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (12/5/2020). Dalam rapat paripurna tersebut beragendakan penyampaian Pemerintah terhadap Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM dan PPKF) RAPBN TA 2021 dan pengambilan keputusan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 atau Perppu Corona menjadi UU
Foto: ANTARA/MUHAMMAD ADIMAJA
Ketua DPR Puan Maharani (kanan) didampingi Wakil ketua DPR Aziz Syamsuddin (kedua kanan) dan Rachmat Gobel (kiri) menerima dokumen dari Menteri Keuangan Sri Mulyani (kedua kiri) pada Rapat Paripurna masa persidangan III 2019-2020, di Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (12/5/2020). Dalam rapat paripurna tersebut beragendakan penyampaian Pemerintah terhadap Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM dan PPKF) RAPBN TA 2021 dan pengambilan keputusan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 atau Perppu Corona menjadi UU

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, asumsi makro yang ditetapkan pemerintah untuk Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 masih realistis. Khususnya di tengah situasi pemulihan ekonomi setelah tertekan akibat pandemi Covid-19.

Yusuf menyebutkan, salah satu indikator paling realistis adalah inflasi yang ditargetkan pemerintah berada pada rentang dua hingga empat persen. "Inflasi masih akan dibayangi proses pemulihan daya beli masyarakat tahun depan, sehingga tekanan inflasi dari sisi permintaan dan suplai akan terjaga," tuturnya ketika dihubungi Republika.co.id, Rabu (13/5).

Proyeksi tersebut juga berkaca dari target inflasi yang setidaknya selalu tercapai dalam dua tahun terakhir. Yusuf mengatakan, pemerintah setidaknya berhasil menjaga sumber-sumber inflasi seperti bahan memastikan kecukupan ketersediaan di dalam negeri dan waktu impor dengan cukup baik. 

Target pertumbuhan ekonomi di kisaran 4,5 persen sampai 5,5 persen pun tampak realistis. Khususnya dengan baseline tahun ini yang lebih rendah, atau bahkan terkontraksi. "Namun, tetap dibutuhkan konsistensi pemerintah dalam menjaga sumber-sumber utama pemerintah seperti Konsumsi ataupun sektor utama seperti manufaktur, perdagangan, ataupun jasa," katanya.

Indikator lain yang disoroti Yusuf adalah nilai tukar. Ia menilai, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS memang ada kencenderungan akan lebih menguat dibandingkan tahun ini. Hal ini tidak terlepas dari rencana pemerintah tahun depan yang masih akan mengandalkan pembiayaan dari penerbitan surat utang.

Yusuf mengatakan, situasi tersebut berpotensi mendorong adanya capital inflow. Apalagi jika dibandingkan dengan negara lain, imbal hasil yang ditawarkan Indonesia masih relatif menarik. "Sehingga ini yang berpotensi akan mendorong investor untuk masuk ke pasar surat utang pemerintah," ucapnya.

Tapi, Yusuf menekankan, penguatan nilai tukar ini didasarkan asumsi volatilitas ekonomi global sudah mereda setelah pandemi Covid-19. Apabila pandemi masih belum diatasi dan dampaknya tetap terasa, nilai tukar berpotensi melemah dari target pemerintah, Rp 14.900 hingga Rp 15.300 per dolar AS.

Sementara itu, lifting minyak bumi dan gas bumi pun terbilang moderat dengan posisinya yang di tengah-tengah dari kondisi biasa. Apabila pandemi berakhir pada tahun depan, Yusuf memprediksi, kemungkin target lifting minyak bumi 677ribu-737 ribu barel per hari dan lifting gas bumi 1,08 juta-1,1 juta ribu barel setara minyak per hari dapat tercapai.

Di sisi lain, Yusuf menambahkan, asumsi tingkat suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun patut ditinjau ulang. Tren suku bunga rendah di global seharusnya memungkinan pemerintah menetapkan target lebih rendah dari target, yakni 6,67-9,56 persen.

Begitupun dengan harga minyak yang masih dapat lebih rendah jika tren penurunan harga di tingkat global masih berlanjut hingga tahun depan. Adapun pemerintah menetapkan asumsi makro untuk harga minyak mentah Indonesia (ICP) berada di kisaran 40 dolar AS hingga 50 dolar AS per barel.

Asumsi makro untuk RAPBN 2021 dibacakan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (12/5). Sri mengatakan, kebijakan fiskal tahun depan mengambil tema Percepatan Pemulihan Ekonomi dan Penguatan Reformasi dan telah mempertimbangkan situasi global maupun dalam negeri.

"Asumsi makro telah mempertimbangkan segala risiko dan ketidakpastian yang ada serta, potensi pemulihan ekonomi global dan nasional di tahun depan," tuturnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement