REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof Nasaruddin Umar*
Lailatur Qadar memang fantastis. Wajar jika momen itu sedemikian populer di dalam masyarakat dunia Islam. Ketika Nabi Muhammad memimpin sholat jamaah yang makmumnya para nabi di Baitul Maqdis, Palestina, menjelang mi’raj ke langit, para nabi memohon untuk dihidupkan kembali secara normal di muka bumi meskipun hanya sebagai umat biasa dan tunduk pada ajaran Islam.
Rahasia di balik permohonan itu ialah keberadaan Lailatul Qadar yang tidak pernah ada sebelum umat Nabi Muhammad. Namun, permohonan itu tidak dikabulkan Tuhan. Mengapa para nabi tersebut memandang penting Lailatul Qadar?
Tentu saja, mereka melihatnya demikian karena mereka hidupnya di alam barzakh, bagian dari alam gaib, dan menyaksikan betapa sibuk para malaikat langit turun memberikan fasilitas spiritual kepada para manusia.
Hal ini disebutkan dalam Alquran, “Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.” (QS al-Qadr/97:4). Keutamaan Lailatul Qadar dalam bulan istimewa Ramadhan luar biasa.
Sebab, “Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” Banyak lagi ayat dan hadis menggambarkan Lailatul Qadar. Sesungguhnya kemuliaan Lailatul Qadar tanpa batas (unlimited). Bilangan tertinggi pada masa turunnya Alquran ialah bilangan seribu.
Sekiranya ada bilangan triliun seperti saat ini, mungkin redaksi Alquran “lebih mulia daripada setriliun bulan”. Itulah sebabnya ulama tafsir tidak mengartikan kata “alfun” dalam ayat di atas dengan “seribu”, tetapi ribuan atau beribu-ribu bulan.
Alangkah ruginya kita yang sudah menjadi umat Nabi Muhammad, tetapi masih menyia-nyiakan dan membiarkan peristiwa dahsyat Lailatul Qadar berlalu begitu saja tanpa dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menyiapkan bekal hidup akhirat kita.
Seandainya kita dikaruniai umur panjang, misalnya 70 tahun, kita akan melewati 70 kali momen Lailatul Qadar. Potong saja usia masa anak-anak yang belum mukalaf 15 tahun, maka usia produktif kita masih ada 55 tahun dikalikan 1.000 bulan.
Maka, jumlah usia produktif kita setara dengan 55 ribu bulan atau 4.583 tahun. Kapan turun Lailatul Qadar? Apa tanda-tandanya? Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.
Jika ada orang yang memberi tanda-tanda turunnya malam Lailatur Qadar, apalagi memastikannya, bisa dipastikan itu tidak bisa diyakini kebenarannya. Sebab, di antara sekian banyak hadis, termasuk sirah (sejarah Nabi), tidak ada yang disepakati ulama soal kesahihannya.
Yang sahih di sekitar Lailatur Qadar hanyalah penetapan 10 malam terakhir yang kadang ditambahkan dengan malam-malam ganjil. Mengapa Allah merahasiakan tanggal pasti turunnya Lailatul Qadar? Tentu, ada hikmah di dalamnya.
Sekiranya Tuhan menetapkan waktu turunnya Lailatul Qadar, pasti akan tumpah ruah masyarakat memadati masjid-masjid pada malam itu dan boleh jadi malam-malam lainnya masjid menjadi sepi.
Dengan demikian, tidak adanya kepastian waktu turunnya Lailatul Qadar, maka umat bisa menambah koleksi amal pada sepanjang malam Ramadhan. Lagi pula, jika Tuhan menetapkan malam Lailatul Qadar, masih muncul pertanyaan yaitu waktu menurut ukuran siapa?
Waktu Arab Saudi atau waktu lokal setempat? Jika misalnya malam menurut ukuran bangsa Indonesia, sudah barang tentu Amerika Serikat tidak dapat karena di sana kebalikannya, siang hari, demikian pula sebaliknya.
Semoga Lailatur Qadar selalu menemani kita setiap tahun. Amin.
*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Republika pada 23 Juli 2014