Tuesday, 22 Jumadil Akhir 1446 / 24 December 2024

Tuesday, 22 Jumadil Akhir 1446 / 24 December 2024

Pemerintah Diminta Bantuan Korban KDRT di Masa Pandemi

Jumat 15 May 2020 14:09 WIB

Red: Hiru Muhammad

 Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat meminta pemerintah segera memberikan perlindungan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di tengah wabah Covid-19 yang melanda tanah air.

Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat meminta pemerintah segera memberikan perlindungan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di tengah wabah Covid-19 yang melanda tanah air.

Foto: istimewa
Laporan kekerasan ke perempuan dan anak hubungi hotline 119 ext 8 layanan SEJIWA.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat meminta pemerintah segera memberikan perlindungan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di tengah wabah Covid-19 yang melanda tanah air.

"Angka KDRT yang tinggi terjadi di masa pandemi Covid-19 ini memang harus segera kita atasi bersama-bersama dengan pemerintah," kata Lestari Moerdijat dalam diskusi online yang digelar kelompok diskusi Denpasar 12 bersama DPP NasDem bertema Kerentanan Kasus KDRT, di Masa Pandemi Covid-19, Kamis (14/5).

Diskusi yang melibatkan hampir 60 peserta itu menghadirkan Siti Aminah Tardi (Komisioner Komnas Perempuan), Mike Verawati Tangka (Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia), Iit Rahmatin (LBH APIK) dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko sebagai narasumber. 

Rerie sapaan akrab Lestari mengatakan, dalam diskusi tersebut terungkap di awal pembentukan Satgas Penanganan Covid-19, pemerintah mengakui sempat tidak melibatkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA).

"Dalam Keppres pembentukan Satgas Penanggulangan Covid-19 memang awalnya tidak melibatkan KPPA. Tetapi setelah upaya penanggulangan berjalan KPPA baru dilibatkan untuk membantu mengatasi sejumlah masalah yang menimpa perempuan dan anak di masa wabah Covid-19 ini," kata Moeldoko dalam kesempatan berbicara dalam diskusi.

Untuk mengatasi dampak kekerasan terhadap perempuan dan anak secara fisik dan psikologis, menurut Moeldoko, pihaknya juga sudah membuat hotline 119 ext 8 layanan SEJIWA.

Tetapi, menurut Moeldoko, program tersebut masih menghadapi sejumlah kendala antara lain membutuhkan lebih banyak psikolog, masih ada kendala korban untuk keluar rumah karena ada kebijakan social distancing dan rumah aman yang jumlahnya masih terbatas.

"Karena itu saat ini pemerintah membutuhkan kerja sama yang baik dari seluruh masyarakat dalam mengatasi dampak wabah Covid-19, terutama yang menimpa perempuan dan anak," ujarnya.

Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, Mike Verawati Tangka menilai bantuan dalam penanganan Covid-19 saat ini terlalu netral gender. Padahal korban dari wabah Covid-19 ini terdiri dari berbagai kelompok masyarakat dan menghadapi kendala yang berbeda. "Karena bantuannya bersifat umum, korban perempuan dan anak dalam kasus KDRT di masa wabah Covid-19 ini, sering kali tidak terpenuhi kebutuhannya,"ujarnya.

Dalam diskusi itu Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi mengungkapkan dalam 12 tahun terakhir terjadi peningkatan kekerasan terhadap perempuan yang siginifikan. Pada 2019 tercatat 431.471 kasus.

"Setiap tahun kecenderungan kekerasan terhadap perempuan konsisten mengalami peningkatan. Hal itu menunjukkan tidak adanya perlindungan dan keamanan terhadap perempuan. Bahkan, mungkin saja telah terjadi pembiaran," ungkap Siti Aminah.

Berdasarkan data SIMFONI PPA yang dikelola Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak per 2 Maret-25 April 2020, tercatat 275 kasus kekerasan yang dialami perempuan dewasa, dengan total korban 277 orang, serta 368 kasus kekerasan yang dialami anak, dengan korban 407 anak.

Menurut Siti Aminah, akar masalah KDRT adalah relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan. "Laki-laki umumnya memiliki power dan kontrol terhadap anggota keluarga."

Hadir sebagai peserta diskusi, wartawan senior Saur Hutabarat memberi perspektif lain dalam upaya mengatasi kekerasan terhadap perempuan. Dalam tatanan masyarakat patriaki, jelas Saur, perlu juga dilakukan moderasi terhadap sistem sosial patriaki, selain dilakukan pemberdayaan terhadap perempuan. "Selama sistem sosial patriaki masih tetap dipegang, potensi terjadi  kekerasan terhadap perempuan tetap tinggi," ujarnya.

  • Komentar 0

Dapatkan Update Berita Republika

BERITA LAINNYA

 
 
 
Terpopuler