REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Aza El Munadiyan (Manajer Strategic partnership Dompet Dhuafa Pendidikan)
COVID-19 telah membuka kembali mata banyak pihak bahwa kondisi ekonomi bisa berubah secara drastis dan berlangung cepat. Dalam sekejap trilliunan kekayaan tergerus, jutaan orang jatuh miskin, ratusan ribu perusahaan gulung tikar.
Menurut data Badan Pusat Statistik per September 2019 jumlah penduduk miskin Indonesia sebesar 24,79 juta. Laporan Bank Dunia yang bertema "Aspiring Indonesia, Expanding the Middle Class" menyebutkan bahwa 115 juta atau sekitar 45% penduduk Indonesia termasuk kategori rentan miskin atau setiap saat bisa kembali dalam kategori miskin lagi.
Pandemi COVID-19 yang diperkirakan berlangsung lama akan memicu pertambahan jumlah penduduk miskin. Harus ada langkah radikal dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia pasca COVID-19.
Salah satu cara pengentasan kemiskinan ini bisa diselesaikan oleh wakaf. Wakaf sebagai sebuah instrumen dapat digunakan tidak hanya untuk menyediakan kebutuhan mendesak bagi kaum miskin, tetapi juga untuk menciptakan atau memperkuat lembaga-lembaga pendukung bisnis yang dapat menurunkan biaya melakukan bisnis untuk kaum miskin yang bersifat jangka panjang.
Wakaf yang memiliki sifat dasar yaitu amal yang berkelanjutan untuk kepentingan ummat akan bertemu dengan Zakat, Infaq, Sedekah yangbbersifat jangka pendek dan menengah masyarakat Indonesia yang dermawan. Harta Wakaf tidak boleh berkurang nilainya, tidak boleh dijual dan tidak boleh diwariskan karena pada hakikatnya wakaf merupakan penyerahkan kepemilikan harta manusia menjadi milik Allah atas nama umat.
Hal inilah yang membedakan aset wakaf dengan asset bisnis. Sehingga pengelolaan aset wakaf dan hasil dari pengelolaan wakaf bisa dipergunakan untuk bantuan modal usaha masyarakt miskin. Sedangkan asset bisnis lebih menekanankan pada pengumpul kekayaan pemilik asset.
Saat ini di Indonesia berdasarkan data Badan Wakaf Indonesia (BWI) potensi aset wakaf per tahun mencapai Rp 2.000 triliun dengan luas tanah wakaf mencapai 420.000 hektare. Sementara potensi wakaf uang bisa menembus kisaran Rp 188 triliun per tahun. Sementara itu, saat ini potensi wakaf yang terealisasi baru Rp 400 miliar. Di sisi aset wakaf tanah sebanyak 337 bidang masih belum bersertifikat dan baru 168 bidang tanah yang sudah bersertifikat.
Sedangkan data Kementerian Agama menyebutkan, jumlah tanah wakaf mencapai 161.579 hektare dengan luas aset wakaf yang tersebar di 366.595 lokasi. Potensi besar wakaf ini belum dioptimalkan dalam upaya pengentasan kemiskinan. Sudah saatnya wakaf mengambil peran dalam optimalisasi asset untuk kesejahteraan umat.
Potensi yang besar ini belum didukung oleh tiga hal utama yaitu menajemen pengelolaan wakaf yang baik, legalitas hukum dan ekosistem bisnis wakaf sehingga realisasi wakaf masih rendah.
Pengelolaan Wakaf
Pengelolaan wakaf yang profesional dengan mengedepankan kaidah bisnis sosial menjadi kunci berkembangnya asset wakaf. Selama ini pengelola aset-aset wakaf hanya seadanya, mengisi waktu luang dan hari tua. Akibatnya aset wakaf tidak berkembang bahkan banyak yang mangkrak. Aspek penting lain dalam pengelolaan wakaf ialah transparansi dan akuntabilitas. Wazir sebagai pengelola wakaf harus menjunjung tinggi transparansi dan akuntabilitas agar moral hazard tidak terjadi ketika set wakaf telah berkembang pesat.
Legalitas hukum
Permasalahan aset wakaf sering muncul akibat tidak jelasnya serah terima secara hukum terkait aset wakaf. Akibatnya ketika wakaf berkembang menjadi potensial atau anak keturunan muwakif mencoba mengambil alih aset wakaf. WAKAF menjadi sah jika memenuhi dua aspek sekaligus, yaitu aspek agama (fikih) dan undang-undang (UU No 41/2004 tentang Wakaf dan PPNo 42/2006 tentang Pelaksanaan UU No 41/ 2004 tentang Wakaf.
Ekosistem bisnis
Membangun ekosistem bisnis wakaf menjadi pekerjaan yang akan menjadi kunci sukses dan berkembangnya aset wakaf. Sama seperti ekosistem bisnis pada umumnya bahwa aset wakaf harus memfasilitasi kebutuhan produsen, distributor dan konsumen sebagai pasar. Ketiga aspek ini apabila berjalan dengan baik menjadi modal keberhasilan pengelolaan wakaf.
Tiga aspek ini masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh berbagai pihak yang terkait dan berkepentingan mulai dari muwakif, nazir dan pemerintah.