Jumat 22 May 2020 18:53 WIB

Tarekat Syattariyah, Menyebar dari Aceh ke Nusantara

Tarekat Syattariyah menyebar ke Nusantara dari Aceh.

Red: Muhammad Hafil
 Tarekat Syattariyah, Menyebar dari Aceh ke Nusantara. Foto: Sejumlah Jamaah Tarekat Syattariyah, mendengarkan khutbah sebelum shalat Idul Adha di Masjid Agung Syekh Burhanudiin, Ulakan, Padangpariaman, Sumatera Barat, Jumat (25/9).
Foto: Antara/Iggoy el Fitra
Tarekat Syattariyah, Menyebar dari Aceh ke Nusantara. Foto: Sejumlah Jamaah Tarekat Syattariyah, mendengarkan khutbah sebelum shalat Idul Adha di Masjid Agung Syekh Burhanudiin, Ulakan, Padangpariaman, Sumatera Barat, Jumat (25/9).

REPUBLIKA.CO.ID, ACEH -- Tak seperti penyebaran tarekat lainnya yang dilakukan seorang mustyid (guru) dari mushala ke mushala, dari masjid ke masjid, dan majelis taklim ke majelis taklim, penyebaran Tarekat Syattariyah justru menyebar ke berbagai pelosok Nusantara melalui jalur atas, kalangan masyarakat elite, yakni istana.

Di Indonesia, Tarekat Syattariyah dibawa oleh Syekh Abdurrauf Singkili, ulama asal Aceh. Keilmuan dan ketokohannya membuat Ratu Shafiyyatu Ad-Din, yang memerintah Aceh kala itu tahun 1641-1675, tertarik untuk mendapatkan pelajaran agama dari Syekh Abdurrauf Singkili. Ratu ini pun memintanya untuk menuliskan sebuah buku yang menjelaskan tentang Tarekat Syattariyah. Syekh Abdurrauf Singkili lalu menulis buku dengan judul At-Tariqatu Asy-Syattariyyah.

Baca Juga

Sang Ratu juga meminta kepada Syekh Abdurrauf agar membimbingnya dalam menjalankan disiplin tasawuf. Permohonan itu lantas ia sanggupi setelah terlebih dahulu Syekh Abdurrauf melakukan shalat istikharah, agar memperoleh petunjuk dari Yang Mahakuasa. Keterlibatan Ratu Shafiyatu ad-Din dalam aktivitas Tarekat Syattariyah akhirnya memperkuat kedudukan ajaran tarekat itu di dalam istana.

Sebagaimana dicatat oleh Ahmad Syafii Mufid dalam bukunya Tangklukan, Abangan, dan Tarekat, Tarekat Syattariyah masuk ke Nusantara pada 1665 M. Diterimanya tarekat ini oleh masyarakat Aceh, tidak lama setelah Kerajaan Aceh menolak ajaran Hamzah Fansuri dan muridnya, Syamsudin Sumatrani, dengan paham wujudiyah, yang mengajarkan konsep wihdatul wujud (penyatuan jiwa dengan Tuhan).