REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof Dr Syihabuddin Qalyubi, Lc M Ag*
Allah SWT mensyariatkan ibadah antara lain untuk membersihkan dan mensucikan jiwa hamba-Nya. Tatkala seorang mukmin semakin banyak meklaksanakan ketaatan kepada-Nya, maka yang bersangkutan akan semakin dekat hubungan dengan-Nya, sebaliknya jika seseorang semakin bertambah melakukan kemaksiatan maka yang bersangkutan semakin merusak hatinya.
Dasar hukum:
Masa-masa untuk melaksanakan ketaatan saling bergantian dari waktu ke waktu. Begitu Ramadhan berakhir begitu pula datang penggantinya bulan Syawal. Bulan yang luar biasa dan sebagai bulan pertama dari bulan-bulan Haji. Bulan disyariatkan berpuasa selama 6 hari, sebagaimana hadist yang diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab Shahīh Muslim dari Abi Ayyub al-Anshari, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
مَن صامَ رَمَضانَ ثُمَّ أتْبَعَهُ سِتًّا مِن شَوَّالٍ، كانَ كَصِيامِ الدَّهْر
Barangsiapa berpuasa Ramadhan, lalu menyambungnya dengan enam hari di bulan Syawal,maka dia seperti berpuasa sepanjang tahun.” (HR Muslim: 1164 )
Mayoritas ulama Syafi'iyah, Hanbaliyah, dan beberapa dari Malikiyah dan Hanafiyah mengatakan bahwa puasa enam hari Syawal hukumnya sunnah, Mereka beralasan dengan hadist Abu Ayyub Al Anshari yang disebutkan di atas.
Sebagian ulama Hanafiyah, dan Malikiyah berpendapat puasa enam hari Syawal hukumnya makruh, Imam Yahya bin Yahya salah seorang ulama Mazhab Maliki berpendapat bahwa tidak ada teks dari ulama salaf yang menunjukkan bahwa mereka puasa enam hari Syawal setelah Ramadhan, karena dikawatirkan terperosok ke dalam perbuatan bidah, karena bisa saja dikira sebagai puasa wajib.
Keutamaan:
Membiasakan berpuasa setelah puasa Ramadhan adalah di antara tanda ibadah puasa Ramadhannya diterima Allah SWT, karena jika Allah menerima amal ibadah seseorang, maka Allah akan mempermudah untuk beramal saleh berikutnya. Sebagian ulama berpendapat, bahwa pahala amal kebaikan adalah kemudahan untuk membuat kebaikan berikutnya.
Barangsiapa berbuat kebaikan lalu diikuti dengan kebaikan berikutnya maka itu menunjukkan bahwa kebaikan yang pertama itu diterima Allah, sebaliknya jika seseorang berbuat kebaikan lalu diikuti dengan kejelekan, maka itu menandakan perbuatan kebaikannya tertolak dan tidak diterima Allah SWT.
Berpuasa enam hari Syawal setelah pelaksanaan puasa Ramadhan memiliki beberapa keutamaan, antara lain:
1. Memperoleh pahala puasa setahun penuh, sesuai dengan hadits Muslim di atas dan diperkuat hadits riwayat Imam As Suyuți dari Tsauban (maula Rasul SAW) dari Rasulullah SAW, beliau bersabda:
صيامُ شهرِ رمضانَ بعشرةِ أشهرٍ، وصيامُ ستةِ أيامٍ بعدَهُ بشهرينِ، فذلكَ صيامُ السنةِ
"Berpuasa Ramadhan pahalanya seperti puasa 10 bulan, dan berpuasa enam hari setelahnya (Syawal) pahalanya seperti puasa dua bulan, maka jumlahnya menjadi satu tahun." (HR Imam As Suyuți hadis sahih dalam al-Jāmi al-Shagīr, No. 5100)
Para ahli hadits mensyarahi bahwa setiap kebaikan bernilai 10 kebaikan, Puasa Ramadhan 30 kebaikan sehingga bernilai 300 kebaikan. Puasa enam hari bernilai 60 kebaikan. Dengan demikain berpuasa Ramadhan plus puasa enam hari Syawal: 300 kebaikan + 60 kebaikan = 360 kebaikan (satu tahun).
2. Menambal dan menyempurnakan kewajiban yang terkadang terabaikan. Berdasarkan hadist dari Tamim Ad Dariy RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
أوّلُ ما يحاسَبُ بهِ العبدُ يومَ القيامةِ صلاتُهُ فإن أكملَها كُتِبَت لَه نافلةً فإن لم يَكن أكمَلَها قالَ اللَّهُ سبحانَهُ لملائكتِهِ انظُروا هل تجِدونَ لعبدي مِن تطَوُّعٍ فأكمِلوا بِها ما ضَيَّعَ مِن فريضتِهِ ثمَّ تؤخَذُ الأعمالُ علَى حَسْبِ ذلِكَ
"Perbuatan hamba yang pertama dihisab di Hari Kiamat sholatnya. Apabila yang bersangkutan telah melaknanakan shalat dengan sempurna maka ia telah memperoleh pahala sunat, namun jika yang bersangkutan belum menyempurnakannya, maka Allah SWT berfirman kepada para malaikat perhatikan apakah hambaku melaksanakan ibadah sunat? Maka sempurnakanlah ibadah fardlu yang hilang (terabaikan)dengannya, lalu perhitungkanlah amal-amalnya setelah disempurnakannya itu." (HR Ibnu Majah: No 1181)
3. Menambah kedekatan hamba kepada Rabb-nya dan memperoleh ridha dan mahabbah-Nya. Sebagaimana hadist dari Abu Hurairah RA:
ما يَزالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إلَيَّ بالنَّوافِلِ حتَّى أُحِبَّهُ، فإذا أحْبَبْتُهُ: كُنْتُ سَمْعَهُ الذي يَسْمَعُ به، وبَصَرَهُ الذي يُبْصِرُ به، ويَدَهُ الَّتي يَبْطِشُ بها، ورِجْلَهُ الَّتي يَمْشِي بها
“Hambaku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan mengerjakan ibadah-ibadah sunat sehingga Aku (Allah) mencintainya. Apabila Aku (Allah) mencintainya, maka Aku menjadi telingannya yang dipakai untuk mendengar, menjadi matanya yang dipakai untuk melihat, mejadi tangannya yang dipakai untuk menyentuh, dan menjadi kakinya yang dipakai untuk berjalan." (HR Bukhari: No 6502).
4. Mempermudah melaksanakan ibadah wajib, dan bisa melaksanakannya secara kontinu tanpa terputus dalam berbagai situasi dan kondisi, karena kontinuitas dalam melaksanakan ibadah sunat merupakan faktor yang memotivasi hamba mengerjakan ibadah wajib tanpa melalaikannya.
Tata cara:
Pelaksanaan niat puasa, menurut para ulama, haruslah dipisahkan antara niat qadha puasa Ramadhan dengan niat puasa enam hari Syawal, tidak boleh dilaksanakan secara bersama. Sedangkan mengenai cara pelaksanaannya ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mazhab:
Mazhab Syafii : Utamakan puasa enam hari secara terus menerus
Mazhab Hanafi : Menganjurkan puasanya itu secara terpisah, dua hari pada setiap pekan.
Mazhab Maliki : Puasa enam hari secara terus menerus dan bersambung dengan Ramadhan hukumnya makruh.
Mazhab Hanbali : Tidak membedakan antara puasa enam hari secara terus menerus dengan pelaksanaannya secara terpisah.
Dengan demikian, orang Islam diperbolehkan memilih berpuasa selama enam hari berturut-turut atau memisahkannya, disesuaikan dengan waktu yang tersedia baginya, dan jika dia menundanya dalam pengertian tidak melaksanakannya di awal Syawal tidak jadi masalah, terutama bagi mereka yang tinggal dengan tamu, atau bertemu dengan kerabatnya setelah hari lebaran. Mari kita berpuasa sunnah Syawal.
*Guru besar Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta