Jumat 29 May 2020 04:31 WIB

Kitab Al-Adawiyah Hingga Tuyul Pada Krisis Ekonomi 1930

Kitab Al-Adawiyah Hingga kajian tuyul pada 1930.

Red: Muhammad Subarkah
Orang-orang mengantre di depan pegadaian Surabaya untuk memperoleh bantuan pada masa resesi 1930.
Foto: Tropenmuseum
Orang-orang mengantre di depan pegadaian Surabaya untuk memperoleh bantuan pada masa resesi 1930.

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Nurman Kholis, Peneliti Litbang Departemen Agama RI*

Artikel ini mengungkap tema tentang syirik dalam naskah beraksara Pegon dan berbahasa Sunda yang berjudul Al-Adawiyatu al-Sy±fiyatu fi Bayni al-ti al-jati wa al-Istikharati wa Daf’i al-Kurbt.

Naskah berbentuk litograf ini ditulis oleh K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950 M). Ia adalah salah se­orang anggota BPUPKI yang berdiri jelang kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Di dalam nas­kah tersebut diinformasikan maraknya pencurian hingga banyak orang berdatangan ke tempat-tempat yang dikramatkan dan dukun untuk me­ngetahui barang-barang yang hilang.
 
Untuk meng­atasinya, K.H. Ahmad Sanusi memberikan solusi agar umat Islam tidak melakukan praktik-praktik syirik, namun melakukan salat hajat dan salat istikharah serta doa-doa untuk mengatasi ke­sulitan.
 
Naskah al-Adawiyah ini ditulis pada tahun 1348 H/ 1929 M yang bersamaan dengan tahun terjadinya krisis ekonomi dunia (malaise). Rakyat miskin pun semakin bertambah, ke­rusuhan, pencurian, perampokan, juga marak di kota-kota maupun di desa-desa. Pada tahun 1929 ini selain terjadinya krisis ekonomi dunia juga merupakan awal munculnya istilah “tuyul” di kalangan masyarakat Indonesia.
 
Berikut ini kajiannya yang sengaja Republika.co.id fokuskan  bahasan keempat tulisan itu, yakni ke soal kitab tersebut dengan kaitan soal krisis ekonomi dan sosial -- termasuk soal isu tuyul dan pencuri-- yang marak pada saat itu.
 
===============
 
Krisis Ekonomi Dunia (Malaise) Pada Tahun 1929

Faktor orang-orang yang mendatangi benda-benda yang dikera-matkan dan dukun sebagaimana diungkapkan dalam naskah al- Adawiyah salah satunya karena sering kehilangan harta oleh praktik pencurian. Karena itu, sering terjadinya peristiwa pencurian pada tahun 1929 juga perlu diungkap secara mimetik.

Hal ini mengacu kepada pendapat Prof Teeuw bahwa bila sebuah karya ditulis itu tidak dalam kekosongan budaya sehingga karya tersebut harus dipahami pula hubungan sejarahnya, baik dengan keseluruhan karya-karya pengarang sendiri, karya-karya yang sezaman, maupun dengan karya-karya sebelumnnya.