REPUBLIKA.CO.ID, Bulan suci Ramadhan telah meninggalkan kita. Covid- 19 dengan ancaman penyebarannya yang masif, menjadi tantangan tersendiri selama bulan puasa tersebut. Hal yang menjadikan Ramadhan kali ini menjadi berbeda daripada tahun-tahun sebelumnya.
Pada bulan puasa yang biasanya ramai dengan tradisi ngabuburit, buka bersama, shalat Tarawih berjamaah, atau sahur di jalan kini tak lagi dijumpai. Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah wilayah menjadikan pergerakan warga tak lagi mudah.
Bahkan, shalat berjamaah di masjid pun terbatasi demi mencegah penularan virus corona. Kini, Ramadhan meng genapkan harinya. Umat Islam berganti menyambut datangnya Hari Raya Idul Fitri 1441 H dengan sukacita.
Kendati demikian, hari penuh kemenangan dari belenggu hawa nafsu itu masih dalam kondisi pandemi Covid-19. Suasana keprihatinan tetap menyelimuti karena jumlah pasien positif corona di Indonesia belum memperlihatkan tren penurunan. Sebagaimana kondisi global.
Di sisi lain, pemenuhan kebutuhan sehari-hari warga harus tetap berjalan. Antara kebutuhan dan pasokan barang ataupun jasa mesti berputar, berjalan seirama. Jika tidak, tinggal menunggu waktu saat warga yang tak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya melonjak. Ketika kebanyakan warga tak lagi mampu sekadar mendapatkan makanan dan minuman, jumlah rakyat miskin yang bergantung pada pasokan bantuan sosial pemerintah bakal meningkat.
Kegiatan usaha dan bisnis masyarakat pun bisa mandek. Pelaku usaha kecil tak mampu lagi berjualan karena daya beli masyarakat seret. Aktivitas jual-beli sepi karena ketiadaan penjual juga pembeli.
Bila ini yang terjadi, bisa dipastikan bahwa perekonomian masyarakat dalam sinyal lampu merah. Pertumbuhan ekonomi menjadi stagnan, bahkan minus. Tentu kita tak berharap hal demikian terjadi pada perekonomian nasional kita.
Jika urusan perut terganggu, bukan tidak mungkin ada pihak-pihak yang mengobarkan api dalam sekam. Lumbung pun menjadi terbakar. Dari semula urusan penyakit, merembet ke persoalan perut, lalu kericuhan sosial pun mewujud.
Ancaman pandemi Covid-19 masih jauh dari berakhir hingga ditemukannya vaksin pembunuh virus. Berdamai adalah jalan terbaik satu-satunya. Berkompromi dengan virus corona agar tidak menular agresif.
Protokol kesehatan agar virus tak menular harus diterapkan secara ketat. Menghindari kerumunan massa, menggunakan masker, memperkuat imunitas, dan tak kalah penting adalah mempertebal keimanan kepada Sang Khalik, pencipta virus itu sendiri.
Boleh jadi, pusat-pusat perdagangan kembali beraktivitas. Demikian pula dengan perkantoran pemerintah ataupun swasta. Namun, kegiatan mereka tetap dalam penjarakan sosial, penjarakan fisik, penggunaan masker guna mencegah virus itu menular.
Masalahnya, kebanyakan di antara kita masih menyepelekan, tidak disiplin, dan bersikap permisif. Merasa sehat, padahal ancaman virus ada di depan mata. Ketika terkena, baru menyadari betapa mematikannya penyakit yang belum ada obatnya itu.
Mari kita berempati pada perjuangan tenaga kesehatan dalam menangani pasien korona untuk sembuh. Demikian juga dengan semua pihak yang berjuang keras mengorbankan diri agar corona ini mereda penularannya.
Dalam kondisi begini, new normal adalah kemestian. Walau demikian, new normal tak melulu berasosiasi dengan pelonggaran PSBB, pembukaan mal dan pertokoan, juga transportasi publik. New normal adalah kondisi yang mengharuskan kita tetap waspada.
Mengharuskan kita berdisiplin ketat pada protokol pen cegahan Covid-19. Tidak ada kompromi bagi pelanggar protokol kesehatan. Begitu pula hukum mesti ditegakkan untuk semua kepada para pengeruh situasi, baik secara ekonomi, sosial, maupun politik.
Ramadhan sebagai simulasi perjuangan melawan hawa nafsu dan Idul Fitri yang dimaknai kembali suci mesti menjiwai semangat membebaskan belenggu pandemi corona dari diri kita.