REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof. Oman Fathurahman, Guru Besar Filologi FAH UIN Jakarta, Staf Ahli Menteri Agama RI
Menjelang Ramadan, saya menemui 34 staf Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU), Kemenag yang menjalani karantina 14 hari di asrama haji Pondok Gede. Mereka kembali dari Saudi setelah lebih dari sebulan 'wara wiri' menyiapkan kontrak layanan haji tahun 2020. Karantina adalah konsekuensi protokol kesehatan yang diterapkan bagi siapapun yang keluar masuk Indonesia saat pandemi Covid-19. Sebelumnya, mereka juga menjalani karantina serupa di Saudi, yang justru lebih tegas menerapkan protokol kesehatan dibanding Indonesia.
Saat itu, saya iseng bertanya kemungkinan penyelenggaraan haji tahun ini. Saya ingin tahu bagaimana feeling mereka yang menyaksikan dari dekat dampak pandemi di Haramayn. “Berat, mungkin batal!” Salah seorang menjawab dengan raut sedih.
Saya merinding karena tidak pernah membayangkan ritual sakral yang dianggap sebagai puncak spiritualitas oleh setiap Muslim itu ditiadakan. Fikiran langsung melayang terbayang kerabat di kampung halaman yang sudah bertahun-tahun menabung serta menunggu jadwal keberangkatan. Bagi mereka, haji adalah satu kesempatan terbaik untuk dekat dengan Tuhan, bercengkerama di 'halaman' rumah-Nya.
Saya lalu bergumam, Pemerintah harus bisa mengusahakan agar haji bisa tetap diselenggarakan. Namun, faktanya, Selasa pagi (2/6/2020), Menteri Agama Fachrul Razi mengumumkan pembatalan keberangkatan Jemaah haji tahun 1441 H/2020 M.
Situasi pandemi yang belum mereda di Saudi dan negeri sendiri, ditambah belum dibukanya kembali kelanjutan kontrak layanan haji, menjadi faktor eksternal yang mengakibatkan Kemenag tidak lagi memiliki waktu cukup untuk melakukan berbagai persiapan. Bayangan raut wajah sedih para calon Jemaah haji kembali melintas berkelebat mengganggu fikiran. Saya sungguh empati!
Kerumitan Haji Ritual haji memang berbeda dengan ibadah lainnya. Eric Tagliacozzo (2013), sejarawan Asia Tenggara terkemuka, menyebutnya sebagai The Longest Journey, perjalanan terjauh penuh petualangan dengan berbagai kesulitan sesuai masing-masing zaman. Namun, tantangan apa pun yang dihadapi, tak ada ceritanya seorang Muslim surut jika sudah berniat haji.
Dulu untuk sampai di Tanah Haram mereka rela mengarungi lautan, melawan perompak, atau hindari badai dan ombak. Masalahnya, kerumitan penyelenggaraan haji di masa pandemi Covid-19 bertambah lagi.
Haji adalah ibadah masal dan komunal. Menjaga jarak (physical distancing), yang diniscayakan untuk mencegah penyebaran virus berbahaya itu, mustahil diterapkan, terutama pada lima hari puncak haji, saat hampir tiga juta orang berdesakan di tempat yang sama di Arafah, Muzdalifah dan Mina. Sebagian mereka juga mahram bagi lainnya, sehingga tidak mungkin dipisahkan.
Mungkin hanya anjuran mencuci tangan dengan sabun, di antara protokol kesehatan yang sejalan dengan kesempurnaan haji. Masker wajah, atau hand sanitizer berbahan alkohol, oleh sebagian diyakini dapat merusak kesempurnaan ibadah haji jika digunakan.
Dari segi sisa waktu, penyelenggaraan haji juga nyaris mustahil dilakukan. Kloter pertama Jemaah haji Indonesia dijadwalkan berangkat pada 26 Juni, dan keesokan harinya rangkaian ibadah dimulai dengan arbain di Masjid Nabawi.
Mengasumsikan karantina kedatangan diberlakukan 14 hari sebelum memulai ibadah, maka jamaah haji Indonesia harusnya sudah tiba di Madinah pada 13 Juni. Itu artinya, pada 30 Mei mereka sudah harus menjalani karantina keberangkatan sebelum masuk asrama. Padahal, untuk itu Jemaah haji harus sudah punya jadwal penerbangan (slot time), kepastian layanan akomodasi, dan tentunya memiliki visa haji.
Hingga 2 Juni, berbagai layanan kontrak haji belum dibuka oleh pihak Saudi, sistem e-hajj pun masih 'digembok' rapat. Alhasil, akibat wabah Corona, jamaah haji tahun ini harus ikhlas dan rela, karena keberangkatannya jadi tertunda. Kita percaya, ini tentu sudah Kehendak-Nya.