REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Setelah lama menolak mengkritik presiden, kini mantan menteri pertahanan Amerika Serikat (AS) Jim Mattis menuduh Donald Trump mencoba memecah belah Amerika. Ia mengecam ancaman penggunaan militer dalam menghadapi unjuk rasa.
Warga yang marah turun ke jalan untuk menuntut keadilan bagi George Floyd. Floyd adalah seorang laki-laki kulit hitam yang tewas dibunuh oleh polisi kulit putih di Minneapolis.
"Donald Trump adalah presiden pertama dalam hidup saya yang tidak mencoba menyatukan masyarakat Amerika, bahkan tidak mencoba berpura-pura melakukannya," tulis Mattis dalam pernyataan yang dipublikasi The Atlantic, Kamis (4/6).
Mattis mengundurkan diri sebagai menteri pertahanan Trump pada 2018 lalu. "Dia justru mencoba memecah belah kami, saat kami sedang menyaksikan konsekuensi upaya tiga tahun," katanya.
Ia membandingkannya dengan perang AS melawan Nazi Jerman. Ia mengatakan sebelum invasi Normadi pasukan AS diingatkan 'slogan Nazi untuk menghancurkan kami adalah 'pecah dan taklukan'.
Mattis merupakan pensiunan jenderal angkatan laut yang membantah memiliki ambisi politik. Ia juga mengkritik pemimpin militer AS saat ini yang berpartisipasi pada sesi foto Trump.
Sesi foto itu dikecam karena Garda Nasional memukul mundur pengunjuk rasa agar Trump bisa berpose di depan kamera. Ia juga menyerang penggunaan kata 'medan perang' yang digunakan Menteri Pertahanan Mark Esper dan kepala Staf Gabungan Jenderal Mark Milley saat menyebut lokasi unjuk rasa.
"Kami harus menolak pikiran kota-kota kami adalah 'medan pertempuran'," kata Mattis.
Trump mengancam akan mengerahkan pasukan aktif bahkan di negara bagian yang menentang penggunaan militer. Ancaman ini memicu peringatan dari militer dan Kongres. Salah satu petinggi Partai Republik memperingatkan hal itu dapat membuat tentara menjadi 'pion politik'.
"Memiliterisasi respons kami, seperti yang kami saksikan di Washington D.C, membentuk konflik yang palsu, antara militer dan masyarakat sipil," kata Mattis.