REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cabai merupakan salah satu komoditas strategis hortikultura. Berbagai jenis cabai dapat dijumpai hampir di seluruh Indonesia.
Namun, bukan perkara mudah untuk membudidayakannya. Butuh keuletan dan keterampilan ketika akan menanam cabai, terutama adanya serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT). OPT merupakan salah satu kendala terhadap kersediaan cabai terutama di masa sulit air atau kemarau.
Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto menyampaikan bahwa salah satu kunci keberhasilan produksi cabai yaitu dengan melakukan monitoring serangan OPT, sehingga dapat dikendalikan. Selain itu petani bisa menerapkan budidaya cabai ramah lingkungan dimana biaya produksi menjadi lebih rendah.
“Petani tidak harus membeli pestisida dan pupuk kimia yang mahal harganya. Produk cabai yang dihasilkan juga lebih sehat, lebih lama daya simpannya, dan aman dikonsumsi,” ujar Prihasto dalam keterangannya, Rabu (10/6).
Prihasto memaparkan, Kementerian Pertanian di bawah komando Syahrul Yasin Limpo (SYL) tetap mendorong dan memacu jajaran di Kementan untuk lebih giat dalam penerapan teknologi pertanian. Ini dilakukan sebagai upaya pengelolaan OPT.
“Tujuannya tak lain untuk memastikan ketersediaan cabai untuk tetap aman dan terjaga,” kata Anton-sapaannya-.
Informasi dari BMKG bahwa pada Mei dan Juni di sebagian besar wilayah Indonesia (wilayah Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan bagian Timur dan Papua bagian Utara) akan memasuki musim kemarau. Puncaknya akan terjadi di bulan Agustus.
“Keadaan kemarau ini tentunya akan sangat berpengaruh terhadap berkurangnya ketersedian air untuk kebutuhan tanaman. Biasanya terjadi kekeringan dan berpengaruh terhadap peningkatan serangan hama,” jelas dia.
“Maka dari itu penting untuk memperhatikan betul penanaman cabainya,” pungkas dia.
Kepala BPTPH Jawa Barat, Ajat Sudrajat menyatakan bahwa berdasarkan data Angka Tetap (ATAP) 2019 produksi cabai besar di provinsi Jawa Barat mencapai 2.639.492 kwintal. Atau berkontribusi sebesar 22 persen terhadap produk cabai besar nasional.
“Maka dari itu menjadi keniscayaan bagi kami harus amankan pertanaman di lapangan dan memastikan bisa berproduksi secara optimal,” kata dia.
Adapun upaya yang dilakukan yaitu dengan melakukan pemantauan lapangan terkait intensitas serangan OPT. OPT yang menyerang cabai di Jawa Barat pada musim kemarau antara lain trips, kutudaun dan virus kuning.
“Kami saat ini terus melakukan monitoring intensif,” tegas dia.
Hal yang sama diungkapkan oleh Budi kepala Laboratorium Pengamat Hama dan Penyakit (LPHP) Cianjur. Budi memaparkan sebaiknya petani atau pelaku usaha mengenal OPT cabai di musim kemarau bisa dilihat dari gejala serangannya.
Gejala serangan trips ditandai dengan permukaan bawah daun berwarna keperak-perakan mengkilat, pada serangan lanjut daun akan berwarna coklat, menjadi keriting dan keriput, pada serangan berat daun, pucuk serta tunas menggulung keatas, daun mengecil timbul benjolan seperti tumor, kerdil bahkan pucuk mati.
“Serangan pada buah menyebabkan permukaan buah kasar berwarna kecoklatan,” jelas dia.
Sementara gejala serangan tungau ditandai dengan perubahan bentuk daun menjadi abnormal seperti daun menebal dan warna menjadi tembaga/ kecoklatan, terpelintir, menyusut serta keriting, tunas dan bunga gugur. Gejala serangan virus kuning ditandai dengan warna kuning terang pada daun tanaman yang terinfeksi, tulang daun mengalami pemucatan dimulai dari daun-daun pucuk.
“Selanjutnya tulang daun akan menebal dan menyebabkan daun menggulung ke atas, daun mengecil dan berwarna kuning terang, tanaman kerdil dan tidak berbuah. Penyebab virus adalah serangga vektor kutu kebul, oleh karena itu yang perlu dikendalikannya adalah vektornya,” ungkapnya.
Budi menambahkan pengendalian OPT trips dan kutu kebul sebagai vektor virus kuning dapat dilakukan secara ramah lingkungan. Di antaranya penggunaan perangkap likat sebanyak 40 buah per hektare, penanaman tanaman penghalang (barrier) seperti jagung di sekeliling pertanaman cabai (5-6 baris) dengan jarak tanam yang rapat 15-20 sentimeter yang ditanam 2-3 minggu sebelum tanam cabai dan penanaman cabai dengan kubis atau tomat secara tumpang sari.
“Di wilayah Jawa Barat dalam pengendalian OPT, sebagian petani sudah menerapkan pengendalian OPT yang ramah lingkungan, namun penggunaan pestisida kimia juga masih dilakukan,” ungkap dia.
Menyikapi merebaknya OPT cabai di musim kemarau, Direktur Perlindungan Hortikultura Sri Wijayanti Yusuf, mengajak dan mengimbau petani untuk terus menggunakan bahan pengendali OPT yang ramah lingkungan dalam mengendalikan OPT.
“Harapannya produksi yang dihasilkan aman konsumsi dan jika menggunakan pestisida kimia perlu memperhatikan prinsip enam tepat yaitu tepat sasaran, mutu, jenis pestisida, waktu, dosis dan konsentrasi dan cara penggunaan,” tutup dia.