REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA
Guru adalah seseorang yang digugu dan ditiru. Sejatinya orangtua kita adalah guru. Ulama adalah guru. Orang lain yang kita tidak kenal lalu menunjukkan satu kebaikan juga adalah guru. Bahkan Nabi SAW sendiri mengaku sebagai guru, seperti sabdanya, “Sungguh aku telah diutus (oleh Allah SWT) sebagai seorang guru.” (HR. Ibnu Majah).
Pahala memuliakan guru adalah surga. Nabi SAW bersabda seperti yang dikutip dalam Lubab al-Hadits oleh Imam Jalaluddin al-Suyuthi, “Barangsiapa memuliakan orang berilmu (guru), maka sungguh ia telah memuliakan aku. Barangsiapa memulikan aku, maka sungguh ia telah memuliakan Allah. Barangsiapa memuliakan Allah, maka tempatnya di surga”.
Surga adalah satu tempat yang luasnya seluas langit dan bumi. Surga itu “Disiapkan untuk orang-orang bertakwa.” (QS. Ali Imran/3: 133). Dalam ayat lain disebutkan bahwa surga itu, “Disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya.” (QS. al-Hadid/57: 21). Maka beruntungah orang yang memuliakan guru karena akan memperoleh surga.
Hadits ini mempertegas perbedaan kedudukan antara orang berilmu dan yang tidak berilmu. Secara retoris Allah SWT bertanya, “Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. al-Zumar/39: 9).
Dalam sejarah Ali bin Abi Thalib diketahui sebagai orang yang sangat memuliakan guru. Hal ini seperti perkataannya yang diabadikan oleh Syaikh al-Zarnuji dalam kitab al-Ta’lim al-Muta’allim. Kitab ini dikenal secara luas dan dipelajari sebagai standardisasi moral dalam proses belajar-mengajar selama berabad-abad pada pondok pesantren di Indonesia.
Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku menjadi hamba bagi orang yang mengajariku satu huruf ilmu. Terserah orang yang mengajariku. Ia mau menjualku, memerdekakanku, atau tetap menjadikan aku sebagai hamba sahayanya.” Dalam kesempatan lain Ali bin Abi Thalib berkata, “Barangsiapa mengajari aku satu huruf, maka baginya seribu dinar.”
Cara Ali bin Abi Thalib dalam memuliakan gurunya, senada dengan sabda Nabi SAW, “Barangsipa yang mengajarkan satu ayat dari Kitab Allah kepada seseorang, maka orang itu menjadi hamba baginya.” (HR. Thabrani). Hamba yang dimaksud dalam konteks ini bukanlah hamba sahaya atau budak, tapi orang yang harus mengabdi sepenuh hati kepada guru.
Bagi Syaikh al-Zarnuji, di antara perbuatan menghormati guru adalah tidak melintas di hadapannya, tidak menduduki tempatnya, tidak memulai berbicara kecuali atas izinnya, tidak banyak bicara di sebelahnya, dan seorang murid hendaknya tidak mengetuk pintu rumahnya. Syaikh al-Zarnuji juga berpesan agar tidak bertanya yang pernah ditanyakan.
Diceritakan oleh Syaikh al-Zarnuji bahwa Khalifah Harun al-Rasyid menyerahkan anaknya kepada Imam al-Ashma’i untuk belajar ilmu agama dan akhlak mulia. Pada suatu hari ketika menjenguk anaknya, Khalifah melihat Imam al-Ashma’i sedang berwudhu dan membasuh sendiri kakinya sedang yang menuangkan airnya adalah putra Khalifah sendiri.
Menyaksikan hal itu, Khalifah menegur Imam al-Ashma’i seraya berkata kepadanya, “Aku menyerahkan anakku kepada Anda agar Anda mengajar dan mendidiknya. Mengapa Anda tidak memerintahkan kepada anakku agar satu tangannya menuangkan air dan tangan yang satu lagi membasuh kakimu?” Inilah cara Khalifah Harun al-Rasyid memuliakan guru anaknya.
Seperti apapun hebatnya kita saat ini pastilah kita telah berutang budi kepada guru kita. Cara untuk memuliakan guru di antaranya adalah mendoakannya. Nabi SAW berpesan, “Siapa yang memberikan kebaikan untukmu, maka balaslah. Jika kamu tidak mampu membalasnya, doakanlah ia hingga kamu yakin telah benar-benar membalasnya.” (HR. Abu Daud).