REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Lukman Hakiem, Peminat Sejarah mantan Staf Ahli Hamzah Haz dan Staf M Natsir
PERKEMBANGAN politik di Tanah Air, sejak Presiden Sukarno mencanangkan konsepsinya mengenai demokrasi terpimpin, berubah pesat. Kalangan politisi dan militer di daerah yang tidak menyetujui Konsepsi Presiden lantaran mengikutsertakan kaum komunis, ditambah terjadinya ketimpangan ekonomi, bersekutu di dalam suatu gerakan yang kemudian melahirkan Perjuangan Semesta (Permesta) di Sulawesi dan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera.
Mendahului pembentukan PRRI, di Padang pada 10 Februari 1958, Letnan Kolonel Ahmad Hussein menyampaikan "Piagam Perjuangan Menyelamatkan Negara".
Inti Piagam tersebut ialah:
1. Menuntut supaya dalam 5 X 24 jam sejak tuntutan ini diumumkan, Kabinet Djuanda mengembalikan mandat kepada Presiden/Pejabat Presiden, dan Presiden/Pejabat Presiden mengambil kembali mandat Kabinet Djuanda.
2. Supaya Hatta dan Hamengku Buwono IX ditunjuk untuk membentuk satu Zaken Kabinet Nasional.
3. Berseru kepada Bung Hatta dan HB IX agar jangan sekali-sekali menolak tanggung jawab ini.
4. Menuntut kepada DPR dan para pemimpin rakyat supaya dengan sungguh-sungguh memungkinkan Hatta-HB IX membentuk kabinet.
5. Menuntut kepada Presiden Sukarno supaya bersedia kembali mematuhi kedudukannya sesuai dengan konstitusi, dan memberi kesempatan sepenuhnya kepada Hatta-HB IX untuk membentuk kabinet.
6. Apabila tuntutan 1 dan 2 tidak dipenuhi maka sejak saat itu kami terbebas dari wajib taat kepada Dr. Ir. Sukarno sebagai Kepala Negara.
Telegram kepada Letkol Ahmad Husein
Lalu bagaimana sikap Masyumi terhadap pergolakan daerah itu?
Partai Masyumi menyatakan, baik pembentukan Kabinet Karya --yang dibentuk oleh warga negara Dr. Ir. Sukarno atas mandat dari Presiden Sukarno-- maupun pembentukan PRRI sama-sama inkonstitusional.
Sejak saat-saat genting menjelang Proklamasi PRRI, pimpinan Masyumi, baik sendiri maupun bersama pimpinan partai lain, dengan sepengetahuan Pemerintah, telah melakukan berbagai usaha guna mencegah Proklamasi PRRI.
Pada tanggal 15 Februari 1958, pimpinan Partai Nasional Indonesia (Soewirjo dan Manuaba), Masyumi (H. Soekiman Wirjosandjojo dan Anwar Harjono), Partai Nahdlatul Ulama (K.H. Masjkur, K.H.M. Dachlan, Imron Rosjadi, dan A.A. Tanaman), Partai Syarikat Islam Indonesia (Anwar Tjokroaminoto dan Harsono Tjokroaminoto), dan Partai Rakyat Indonesia (Soetomo alias Bung Tomo) mengirim telegram kepada pimpinan Dewan Perjuangan, Letnan Kolonel Achmad Husein.
Telegram pemimpin lima partai politik plus Partai Katolik itu pada pokoknya meminta kepada pemimpin Dewan Perjuangan "supaya Saudara jangan bertindak apa-apa lebih dulu. Kami sedang berusaha supaya DPR menjadi perantara untuk mencari jalan penyelesaian."
Dasar Politik Masyumi
Sebelum bersama-sama lima partai lain mengirim telegram kepada Letkol Ahmad Husein, Masyumi mengeluarkan pernyataan yang ditandatangani oleh H. Soekiman Wirjosandjojo (Wakil Ketua I) dan H.M.Yunan Nasution (Sekretaris Umum).
Sesudah menyatakan rasa syukur dan terima kasih karena telah diberi kesempatan untuk bertukar pikiran dengan berbagai pihak yang berwenang, dan mengkonstatir terdapat kesamaan pandangan dalam melihat perkembangan keadaan, Masyumi menyampaikan pendiriannya.
Masyumi menegaskan kembali dasar-dasar politik yang Dilaksanakannya selama ini, yaitu:
1. Mengembalikan kedudukan Undang-Undang Dasar.
2. Mengembalikan ketertiban hukum dan demokrasi.
3. Menjaga jangan sampai daerah-daerah melepaskan dirinya dari ikatan Negara Republik Indonesia.
4. Meyakinkan bahwa kekerasan senjata tidak akan membawa penyelesaian.
Masyumi mengakhiri statementnya dengan narasi berikut ini:
"Maka Pimpinan Partai Masyumi terus menerus berusaha untuk menemui satu jalan yang dapat ditempuh bersama oleh pusat dan daerah untuk menyelamatkan Negara ini, dan dalam taraf sekarang ini mengajak dengan sungguh-sungguh kepada pihak-pihak yang bersangkutan untuk segera mengambil langkah bersama yang nyata untuk menghindarkan terjadinya sesuatu yang tidak bisa dipulihkan lagi."
Sebagai tindak lanjut dari statementnya, Masyumi melakukan kontak intensif dengan Pejabat Presiden Mr. Sartono, Perdana Menteri Djuanda, Wakil Perdana Menteri Mr. Hardi dan K.H. Idham Chalid, KSAD Jenderal Nasution, mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta, serta para pemimpin partai politik: PNI (Soewirjo), NU (K.H.M. Dachlan), Partai Katolik (I.J. Kasino), Partai Kristen Indonesia (A.M. Tambunan), dan lain-lain.
Kontak-kontak yang sangat luas itu dilakukan oleh Soekirman Wirjosandjojo, Prawoto Mangkusasmito, K.H. Faqih Usman, Mohamad Roem, Zainal Abidin Ahmad, dan lain-lain.
Semua ikhtiar Masyumi itu di apresiasi, baik oleh PM. Djuanda dalam pidato di DPR, maupun oleh Presiden Sukarno dalam pidato saat menerima kembali jabatannya dari Pejabat Presiden Mr. Sartono.
Membubarkan Diri dan Menggugat
Ujung cerita PRRI sudah diketahui bersama. Meskipun dicegah oleh Bung Hatta dan Rektor Universitas Indonesia (UI) Prof. Bahder Djohan, Jenderal Nasution tetap melakukan serangan militer ke basis PRRI di Sumatera Barat.
Prof. Bahder, diminta Nasution untuk tutup mulut. Dia berjanji akan menyelesaikan PRRI dalam hitungan pekan. Fakta membuktikan, PRRI diselesaikan Nasution bukan dalam hitungan pekan, melainkan dalam hitungan tahun.
Dampak pergolakan daerah menimpa Masyumi. Karena keterlibatan tiga tokohnya: M. Natsir, Sjafruddin Prawira, dan Burhanuddin Harahap, Masyumi secara kelembagaan dituduh terlibat dalam pergolakan daerah
Dan karena Masyumi menolak untuk mengutuk Natsir, Sjafruddin, dan Burhanuddin, maka Masyumi diperintahkan untuk membubarkan diri atau dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang.
Masyumi memilih alternatif pertama: membubarkan diri. Seraya menyatakan membubarkan diri, Masyumi menggugat Pemerintah. Pada tingkat pertama, pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili perkara Masyumi melawan Pemerintah. Masyumi naik banding.
Sampai rezim Sukarno jatuh, proses banding Masyumi tidak pernah terdengar kabar beritanya.Tidak keliru jika dikatakan pembubaran Masyumi belum berkekuatan hukum tetap.