Kamis 02 Jul 2020 19:29 WIB

Bukan Sekadar Penyakit Pernapasan, Covid-19 Pengaruhi Otak

Pasien Covid-19 tampak mengalami masalah neurologis, salah satunya strok.

Rep: Puti Almas/ Red: Reiny Dwinanda
Penanganan pasien Covid-19 (ilustrasi). Covid-19 juga dapat memicu masalah neurologis.
Foto: AP
Penanganan pasien Covid-19 (ilustrasi). Covid-19 juga dapat memicu masalah neurologis.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Strok, delirium, gangguan kecemasan, hingga keletihan menjadi beberapa kondisi yang dapat terjadi pada orang-orang yang terinfeksi virus corona jenis baru (Covid-19). Hal ini menunjukkan dengan lebih jelas bahwa penyakit tersebut juga memicu sejumlah besar masalah neurologis, bukan sekadar sakit pernapasan.

Dilansir BBC, Paul Mylrea dari Universitas Cambridge, Inggris adalah orang yang mengalami strok hingga dua kali, disebabkan oleh Covid-19. Pria berusia 64 tahun itu merasa beruntung dapat sehat kembali, meski kondisi tubuh sebelah kanan masih cukup lemah.

Baca Juga

Mylrea menjadi pasien yang pulih dengan luar biasa, seperti yang tercatat dalam sejarah Rumah Sakit Nasional Neurologi dan Bedah Saraf (NHNN) di Ibu Kota London, Inggris. Strok pertama terjadi saat ia dirawat di Rumah Sakit Universitas College.

Gumpalan darah yang berpotensi mematikan juga ditemukan di paru dan kakinya. Dia kemudian diberikan obat pengencer darah (antikoagulan) yang dosis tinggi.

Beberapa hari kemudian, dia menderita strok kedua, bahkan lebih gawat hingga membuatnya segera dipindahkan ke NHNN di Queen Square. Mylrea mengalami kondisi parah karena pembekuan yang terjadi merampas area vital pasokan darah ke otak.

Tes menunjukkan bahwa Mylrea memiliki tingkat penanda yang sangat tinggi untuk jumlah pembekuan dalam darah yang dikenal sebagai D-dimer. Biasanya, D-dimer ini kurang dari 300.

Pada pasien strok, kadarnya dapat meningkat menjadi 1.000. Level Mylrea saat itu tercatat lebih dari 80 ribu.

"Saya belum pernah melihat tingkat pembekuan darah seperti ini sebelumnya, sesuatu tentang respons tubuhnya terhadap infeksi telah menyebabkan darahnya menjadi sangat lengket," ujar Arvind Chandratheva, dokter ahli saraf yang menangani Mylrea.

Selama aturan pembatasan (lockdown) diberlakukan di Inggris, dilaporkan terjadi penurunan jumlah penerimaan pasien strok darurat. Namun, dalam dua pekan, ahli saraf di NHNN merawat enam pasien Covid-19 yang mengalami strok hebat.

Kondisi itu disebut tidak terkait dengan faktor risiko yang biasa untuk strok, seperti tekanan darah tinggi atau diabetes. Dalam setiap kasus, tim dokter di NHNN melihat tingkat pembekuan darah yang sangat tinggi.

Bagian dari pemicu strok adalah reaksi berlebihan besar-besaran oleh sistem kekebalan tubuh yang menyebabkan peradangan pada tubuh dan otak. Chandratheva memproyeksikan gambar otak Mylrea, di mana ini menyoroti area besar kerusakan, yang ditampilkan sebagai kabur putih, memengaruhi penglihatan, memori, koordinasi, dan lisannya.

Strok itu begitu besar sehingga dokter mengira kemungkinan dia tidak akan selamat atau menjadi sangat cacat. Mylrea bahkan mengatakan para dokter telah memberi tahu pihak keluarganya bahwa tak ada yang banyak bisa mereka lakukan.

“Entah bagaimana saya selamat dan semakin kuat,” jelas Mylrea.

Salah satu hal menggembirakan lainnya adalah kemampuan bahasa Mylrea. Ia dapat kembali berbicara dalam enam bahasa dan dengan cepat melakukannya.

Mylrea mengatakan, dia tidak bisa membaca secepat biasanya dan terkadang menjadi pelupa. Tetapi, itu tidak mengejutkan mengingat area kerusakan di otaknya. Pemulihan fisiknya juga mengesankan, yang oleh para dokter dikaitkan dengan tingkat kebugaran sebelumnya yang sangat tinggi.

"Saya biasanya bersepeda selama satu jam sehari, melakukan beberapa sesi olahraga dalam seminggu dan berenang di sungai. Hari-hari bersepeda dan menyelam saya sudah berakhir, tetapi saya berharap untuk kembali berenang," ungkap Mylrea.

Sebuah studi di Lancet Psychiatry menemukan komplikasi otak pada 125 pasien Covid-19 yang sakit parah di rumah sakit Inggris. Hampir setengahnya menderita strok karena pembekuan darah, sementara yang lain mengalami peradangan otak, psikosis, atau gejala mirip demensia.

Salah satu penulis studi, Tom Solomon dari University of Liverpool mengatakan bahwa virus corona jenis baru secara jelas menyebabkan masalah di otak. Pada awalnya, tim peneliti mengira penyakit ini adalah hanya tentang paru, yang disebabkan oleh kurangnya oksigen ke otak.

“Tetapi tampaknya ada banyak faktor lain, seperti masalah dengan pembekuan darah dan respons hiper-inflamasi dari sistem kekebalan tubuh. Kita juga harus bertanya apakah virus itu sendiri menginfeksi otak,” ujar Solomon.

Di Kanada, ilmuwan saraf Adrian Owen telah meluncurkan studi daring global tentang bagaimana virus corona jenis baru memengaruhi kognisi. Ia mengatakan, pasien Covid-19 yang mengalami kondisi parah dan harus dirawat di ICU rentan terhadap gangguan kognitif.

Jadi, ketika jumlah pasien Covid-19 yang pulih terus meningkat, semakin jelas bahwa keluar dari ICU bukanlah akhir bagi mereka. Owen mengatakan bahwa ini hanya awal dari pemulihan.

SARS dan MERS, yang keduanya disebabkan oleh virus corona, dikaitkan dengan beberapa penyakit neurologis, tetapi ilmuwan belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya. Perbandingan terdekat adalah pandemi flu 1918. Para peneliti melihat ada banyak penyakit otak dan masalah yang muncul selama 10 hingga 20 tahun ke depan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement