REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Yusri Yunus mengatakan, penyidik kesulitan mengidentifikasi ratusan anak di bawah umur yang menjadi korban eksploitasi seksual oleh Francois Abello Camille (FAC) alias Frans (65 tahun). Sebab, para korban belum memiliki KTP elektronik.
"Kendala yang kita hadapi adalah korbannya anak-anak di bawah umur yang tidak memiliki KTP-e. Jadi sulit mencari identitasnya," kata Yusri di Jakarta, Sabtu (11/7).
Selain itu, jelas Yusri, kendala lainnya adalah tersangka Frans yang tidak kooperatif dalam memberikan keterangan saat diperiksa polisi. Termasuk identitas para korbannya. "Tersangkanya kurang kooperatif dalam menyampaikan apapun, karena dia mengakunya bergerak sendiri," ungkap Yusri.
Di sisi lain, sambung dia, hingga saat ini polisi belum menemukan adanya warga negara asing (WNA) yang turut menjadi korban Frans. Tersangka juga diketahui mencari korbannya di mal maupun anak jalanan. "Semuanya (korban eksploitasi seksual) WNI. Ada korbannya yang anak jalanan, ada juga dia nyari di mal," imbuhnya.
Adapun kepolisian menduga, jumlah korban eksploitasi seksual warga negara asal Perancis itu mencapai 305 orang. Hal itu berdasarkan 305 video porno Frans dengan korban berbeda-beda yang ditemukan polisi di dalam laptop miliknya.
Dari 305 orang yang ada dalam video tersebut, polisi baru berhasil mengindentifikasi sebanyak 17 orang. Sedangkan sisanya masih dalam proses identifikasi.
Berdasarkan hasil pemeriksaan awal, Frans diketahui melakukan aksinya sejak Desember 2019 hingga Juli 2020. Ia kerap berpindah-pindah hotel di wilayah Jakarta untuk melakukan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur.
Ia menawarkan para korbannya pekerjaan sebagai foto model. Kemudian Frans mengajak korban ke hotel untuk berfoto tanpa busana dan dipaksa berhubungan badan.
Sebelum melakukan hubungan seksual, tersangka mendandani korbannya dengan berbagai kostum. Selain itu, tersangka juga merekam tindakan pelecehan seksual tersebut. Setelah melecehkan anak-anak tersebut, tersangka memberikan imbalan uang sebesar Rp 250 ribu hingga Rp 1 juta. Tak jarang, tersangka juga melakukan kekerasan terhadap anak yang menolak melakukan hubungan intim dengannya.
Dari tangan tersangka, polisi menyita sejumlah barang bukti. Di antaranya puluhan kostum untuk yang digunakan untuk pemotretan korban, peralatan fotografi, alat bantu seks hingga alat kontrasepsi. Atas perbuatannya, Frans dikenakan Pasal 81 ayat 5 junto 76 D UU RI No.1 Tahun 2006 tentang perlindungan anak. Dengan ancaman pidana paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau hukuman mati dan atau penjara seumur hidup.