REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Bermula sekitar 700 Masehi, permainan di atas sebuah papan yang terbagi oleh kotak warna hitam dan putih serta bidak-bidak yang dijalankan di atasnya, karib disebut catur, menyebar lebih cepat dibandingkan masa-masa sebelumnya.
Permainan sarat strategi ini pun singgah di dunia Islam. Bermunculan pula para master catur tanpa tanding. Sejumlah khalifah pun ahli memainkan bidak-bidak catur, mengatur strategi untuk mempercundangi lawan mainnya.
HJR Murray dalam sebuah karya berjudul A History of Chess, yang dipublikasikan pada 1913, mengungkapkan, catur menyebar secara cepat ke berbagai kota dan negara serta menembus batas-batas budaya.
Penyebaran ini bergerak dari Mesir melalui sejumlah wilayah di Afrika Utara menuju Spanyol. Karya tersebut juga menggambarkan referensi tentang catur dan cara-cara bermainnya. Tersingkap pula, di dunia Islam, catur juga bukan barang yang asing.
Bahkan, sejumlah master catur lahir. Said bin Al-Musaayib dari Madinah yang meninggal pada 710, misalnya, memiliki kemampuan bermain catur. Ia pun memainkan permainan itu di depan umum. Di hadapan khalayak, ia menyatakan, permainan catur diperbolehkan karena tak berunsur judi.
Muncul pula nama Muhammad bin Sirin, meninggal pada 728, yang juga merupakan salah satu master catur yang ditemukan di dunia Islam. Tiga cucu dari master catur lainnnya, Hisham bin Urwa yang meninggal pada 765, juga merupakan para pecatur yang sangat tangguh.
Tak hanya itu, kiasan tentang catur juga bermunculan dalam gubahan puisi. Salah satunya terdapat dalam puisi hasil karya Al-Faradaq, seorang penyair yang meninggal dunia sekitar tahun 728. Ia berbicara tentang bagaimana catur dimainkan.