REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dampak pandemi COVID-19 terhadap pasar properti di Asia Pasifik terasa lebih kuat pada kuartal kedua 2020 dibanding kuartal sebelumnya. Ini berakibat pada menurunnya volume investasi dan harga sewa di sebagian besar kelas aset komersial di paruh pertama tahun ini.
Menurut data terbaru perusahaan layanan investasi real estate JLL, volume investasi semester pertama turun 32 persen secara tahunan dengan pelemahan sebesar 39 persen di kuartal kedua dan penurunan sebesar 26 persen di kuartal pertama.
Penurunan volume investasi terus berlanjut seiring pemberlakuan lockdown dan pembatasan perjalanan. Kondisi ini mempengaruhi sejumlah rencana investasi jangka pendek. Singapura (-68 persen) dan Hong Kong (-65 persen) mencatat penurunan investasi tahunan terbesar pada kuartal kedua, sementara penurunan investasi di Australia (-58 persen), Korea Selatan (-45 persen) dan China (-15 persen) diimbangi oleh dimulainya kembali sejumlah aktivitas pada akhir kuartal kedua.
Kegiatan investasi di Jepang (-20 persen) tetap berjalan dengan dukungan transaksi di sektor multi-keluarga dan likuiditas domestik yang kuat. Menurut CEO Capital Markets Asia Pacific JLL Stuart Crow, aktivitas transaksi yang menurun tajam pada kuartal kedua mencerminkan kurangnya minat pelaku usaha dan ketidakpastian akan pemulihan pasar.
"Likuiditas masih sangat tinggi, dan kami berharap aktivitas transaksi mulai pulih pada semester kedua dengan adanya pembukaan kembali aktivitas ekonomi lebih lanjut dan penyesuaian estimasi harga di pasar tertentu,” kata Stuart Crow, dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Selasa (21/7).
Sektor perkantoran Asia Pasifik lagi-lagi melaporkan volume investasi tertinggi berkat minat kuat para investor institusional pada pasar utama. Aset-aset defensif serta yang utama bagi kegiatan operasional seperti pusat logistik, pendidikan, dan pusat data juga mencuri perhatian investor, sehingga munculah aliran dana dan usaha patungan baru. Aktivitas transaksi ritel dan hotel tetap stagnan pada semester pertama tahun ini.
Dengan penurunan tingkat suku bunga pinjaman di sebagian besar pasar utama, data dari JLL menunjukkan bahwa prime yield dan bond yield berada di batas yang aman di sebagian besar sektor di Asia Pasifik. Hal ini menciptakan pasar yang menarik untuk investor luar yang ingin menempatkan dana sekitar 40 miliar dolar AS dalam bentuk cash di kawasan tersebut.
Di kawasan Asia Pasifik, sewa perkantoran umumnya tertekan pada semester pertama. Hanya negara tertentu yang mencatatkan kenaikan harga per kuartal dibanding tahun lalu. Sewa perkantoran di Distrik Pusat Hong Kong mencatatkan penurunan yang paling dalam (-9,3 persen) karena meningkatnya kekosongan dan melemahnya permintaan.
Beijing (-4,1 persen), Melbourne (-3,9 persen), Sydney (-3,5 persen) dan Singapura (-3,3 persen) juga melaporkan adanya penurunan yang cukup dalam terkait harga sewa. Sebaliknya, perkantoran CBD di Osaka dan Seoul mengalami peningkatan melebihi target di kuartal kedua, dengan harga sewa naik 1-2 persen.
Sektor ritel merupakan sektor yang paling terdampak karena karantina wilayah, larangan perjalanan dan pembatasan sosial, memangkas permintaan di kuartal kedua. Pasar sewa ritel Hong Kong (-13,3 persen) mencatatkan penurunan terdalam di antara pasar-pasar utama di Asia Pasifik. Biaya sewa juga menurun di sebagian besar Asia Tenggara, seperti Singapura (-8,5 persen) yang mencatatkan pengurangan harga yang paling signifikan.
Sektor logistik dan industri merupakan yang paling tangguh di wilayah ini selama kuartal kedua. Pertumbuhan sewa tetap positif di Shanghai (+ 1,2 persen) dan Sydney (+ 1,0 persen) dan sebagian besar bergerak stabil di Singapura, Beijing, Sydney, dan Melbourne.
"Masih terdapat ketidakpastian mengenai prospek pertumbuhan dan pemulihan di tengah pandemi COVID-19. Penawaran dan permintaan akan tetap menjadi pendorong utama untuk kinerja sewa. Namun setiap negara masih melalui tahapan karantina wilayah dan ini tentu akan berdampak langsung pada permintaan," kata Chief Research Officer Asia Pacific JLL Roddy Allan.
Menurut Allan, dampak COVID-19 akan tetap terasa, tetapi hasil kajiannya menunjukkan bahwa investor akan kembali ke pasar pada paruh kedua dengan optimistis."Kami percaya investasi akan meningkat lebih cepat pada awal 2021." kata Allan.