REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, estimasi besaran tax expenditure atau belanja perpajakan pemerintah pada tahun lalu mencapai lebih dari Rp 250 triliun. Nilai ini naik 13 persen dibandingkan estimasi pada 2018 yang sebesar Rp 221,1 triliun.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan, nilai tersebut sangat besar. Oleh karena itu, pemerintah akan melakukan evaluasi terhadap pengeluaran perpajakan yang signifikan itu terhadap ekonomi. "Kemudian kami analisis, oh ini untuk masyarakat, sektoral, dan dampaknya," ujarnya dalam doorstop virtual, Jumat (24/7).
Secara logika, Febrio mengatakan, pertumbuhan belanja perpajakan seharusnya menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Hasil akhirnya, penerimaan perpajakan juga bisa tumbuh positif.
Tapi, Febrio mengakui, Indonesia masih memiliki permasalahan struktural pada penerimaan perpajakan dan rasio pajak. Pertumbuhannya justru kerap lebih lambat dibandingkan pertumbuhan ekonomi secara nominal. "Secara logika, ini susah dipahami, kok bisa. Tapi, ini kenyataannya," ucapnya.
Febrio menyebutkan, permasalahan struktural ini harus melibatkan solusi jangka panjang dan komprehensif. Kini, pemerintah berupaya melakukan beberapa reformasi perpajakan untuk mengatasinya yang mencakup aspek organisasi dan sumber daya manusia (SDM) hingga terkait informasi dan teknologi.
Mengutip dari situs resmi, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), tax expenditure merupakan transfer sumber daya kepada publik yang dilakukan bukan dengan memberikan bantuan atau belanja langsung (direct transfer), melainkan melalui pengurangan kewajiban pajak yang mengacu pada standar perpajakan yang berlaku.
Laporan belanja perpajakan juga sempat disinggung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pada Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Pelaksanaan Transparansi Fiskal 2019, BPK memberi rekomendasi kepada Kemenkeu untuk membuat landasan hukum atas laporan belanja perpajakan yang disusun BKF beberapa tahun terakhir.
Selain masalah landasan hukum, BPK turut menyoroti tidak adanya keterkaitan antara laporan belanja perpajakan dengan APBN 2019 yang disusun oleh pemerintah. Hal ini dikarenakan sifat laporan yang masih bersifat historis, yaitu hanya menyampaikan belanja perpajakan yang sudah terjadi pada 2016 hingga 2018.
Dalam APBN 2019, BPK mengatakan, pemerintah juga tidak mencantumkan informasi mengenai proyeksi belanja perpajakan pada tahun terkait. Dampaknya, tidak bisa dipastikan dengan jelas jumlah dan nominal belanja perpajakan yang dialokasikan pada 2019 oleh pemerintah.