Rabu 29 Jul 2020 14:49 WIB

Satgas Jelaskan Alasan Tingginya Kasus Covid-19 di DKI

Tingginya kasus karena agresifnya pemeriksaan dan penelusuran oleh tim surveilans.

Petugas menyemprotkan cairan disinfektan di ruang sidang paripurna DPRD DKI Jakarta, Rabu (29/7/2020). Penyemprotan tersebut bertujuan untuk menekan penularan COVID-19 di lingkungan perkantoran dan pemerintahan.  Sebelumnya, seluruh gedung DPRD DKI Jakarta dinyatakan ditutup sementara dan direncanakan beroperasi kembali pada Senin (3/8) mendatang, terkait dengan adanya salah satu anggota DPRD dan karyawan yang terpapar COVID-19.
Foto: ANTARA/Rivan Awal Lingga
Petugas menyemprotkan cairan disinfektan di ruang sidang paripurna DPRD DKI Jakarta, Rabu (29/7/2020). Penyemprotan tersebut bertujuan untuk menekan penularan COVID-19 di lingkungan perkantoran dan pemerintahan. Sebelumnya, seluruh gedung DPRD DKI Jakarta dinyatakan ditutup sementara dan direncanakan beroperasi kembali pada Senin (3/8) mendatang, terkait dengan adanya salah satu anggota DPRD dan karyawan yang terpapar COVID-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim pakar Satgas Penanganan Covid-19 menjelaskan alasan tingginya kasus positif Covid-19 di DKI Jakarta. Hal itu karena agresifnya pemeriksaan dan penelusuran epidemiologi yang dilakukan oleh tim surveilans.

Salah satu Tim Pakar Satgas Penanganan Covid-19 Dr Dewi Nur Aisyah menggambarkan agresivitas tersebut dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh DKI Jakarta sudah empat kali lipat dari standar WHO. Bila standar yang ditetapkan WHO harus memeriksa 1.000 spesimen per 1 juta penduduk, DKI Jakarta telah memeriksa 40 ribu spesimen dari sekitar 10 juta penduduknya.

Baca Juga

"Pada periode 4-10 Juni DKI Jakarta sudah memeriksa 20 ribu, melebihi ekspektasi WHO. Kemudian bertambah lagi jadi 27 ribu di minggu berikutnya, dan dua pekan terakhir sudah 40 ribu pemeriksaan dalam seminggu. Sudah empat kalinya standar WHO," kata Dewi dalam keterangannya di Graha BNPB Jakarta, Rabu (29/7).

Dari seluruh kasus positif Covid-19 di DKI Jakarta periode 4 Juni hingga 28 Juli 2020, sebanyak 57 persennya merupakan tanpa gejala dan 43 persennya orang yang memiliki gejala. Sebanyak 43 persen atau 5.477 kasus positif Covid-19 di periode tersebut didapat dari masyarakat yang mendatangi rumah sakit. 

Sementara 28 persennya atau 3.567 kasus didapati dari penemuan kasus secara aktif di masyarakat. "Jadi tim surveilans turun ke pasar, ke perkantoran, rumah ibadah, mencari orang-orang yang tidak ada gejala kemudian positif," kata Dewi. 

Sedangkan sebanyak 29 persen atau 3.694 kasus didapat dari penelusuran kontak erat dari pasien yang terkonfirmasi positif Covid-19. Dari kasus pada periode tersebut memang paling banyak berasal dari kluster pasien-pasien di rumah sakit sebanyak 42,95 persen. 

Sisanya berasal dari kluster anak buah kapal atau pekerja migran Indonesia 5,88 persen dikarenakan Jakarta merupakan salah satu pintu masuk ke Indonesia. Selanjutnya kluster pasar rakyat, perkantoran, pegawai di rumah sakit, pegawai di Puskesmas, kegiatan keagamaan, panti, dan rumah tahanan.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement