Rabu 05 Aug 2020 14:50 WIB

Lebanon, Dampak Politik Sektarian yang Multiefek

Sistem pemerintahan yang dibangun sejak Perang Saudara 1990 telah gagal.

Seorang lelaki yang terluka berjalan di lokasi ledakan di pelabuhan Beirut, Lebanon, Selasa (4/8) waktu setempat.
Foto: Hussein Malla/AP
Seorang lelaki yang terluka berjalan di lokasi ledakan di pelabuhan Beirut, Lebanon, Selasa (4/8) waktu setempat.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah*

Ledakan yang terjadi di kawasan pelabuhan Beirut, Lebanon Selasa (4/8) semakin memperburuk kondisi negara yang berada di sepanjang Laut Tengah itu. Ledakan diduga berasal dari 2.750 ton amonium nitrat ditimbun selama enam tahun di gudang pelabuhan. Sebanyak 78 orang dinyatakan meninggal (kemungkinan jumlah korban akan terus bertambah) dan 4.000 orang terluka akibat ledakan tersebut.

Belum ada keterangan resmi terkait dengan penyebab terjadinya ledakan. Pemerintah masih enggan berspekulasi dengan dugaan-dugaan di balik meledaknya gudang penyimpanan itu. Namun, dalam pernyataannya, Presiden Lebanon Michel Aoun menyebut penimbunan zat kimia bersifat eksplosif tersebut tidak dapat diterima karena dilakukan secara serampangan tanpa memperhatikan aspek keamanan. Amonium nitrat adalah senyawa kimia yang biasa digunakan untuk pupuk dan menjadi campuran zat dalam konstruksi pertambangan. Pemerintah menetapkan kondisi darurat atas peristiwa ini.

Insiden ini menambah deretan beban yang akan membuat Lebanon terseok-seok. Keterpurukan ekonomi di Lebanon telah mengantarkan negara yang konon pernah dijuluk Swiss Timur Tengah ini ke jurang fail state, alias negara gagal. Padahal Lebanon pernah menjadi negara makmur sebagai oasis kemakmuran dan stabilitas yang relatif stabil selama beberapa dekade terakhir, saat negara lain di kawasan tengah menghadapi kekacauan. Para ekonom sekarang memprediksi keruntuhan Lebanon serupa dengan Venezuela dengan beberapa aspek yang jauh lebih buruk. Melemahnya layanan publik, inflasi tak terkendali, dan instabilitas politik di negara dengan 6,8 juta penduduk tersebut.

Reuters melaporkan nilai mata uang Lebanon, Pound Lebanon terdegradasi hingga 80 persen dari dolar AS. Pada sisi lain, harga naik lebih cepat terutama untuk makanan dan minuman hingga 246,62 persen pada Mei. Transportasi naik 84,69 persen, pakaian dan alas kaki naik 344,81 persen, dan restoran-hotel 342,45 persen. Harga perabot rumah tangga, peralatan rumah tangga, dan pemeliharaan rutin rumah tangga naik 412,40 persen. Minuman beralkohol & tembakau naik 254,05 persen, sementara harga perumahan dan utilitas naik 3,55 persen. Warga Lebanon harus rela menikmati jatah listrik hanya dua sampai 4 jam per hari. 

Dalam pandangan guru besar hubungan internasional London School Economics, Fawaz Gergez, model sistem pemerintahan yang dibangun para elite politik sejak Perang Saudara 1990 telah gagal menjadi jawaban atas perbaikan ekonomi. Perekonomian negara ini bukan saja di ambang kehancuran, tetapi sebenarnya telah ambruk. “Lebanon tidak lagi berada di ambang kehancuran. Perekonomian Lebanon telah runtuh, ”kata dia sembari memprediksi sulitnya negara pimpinan Michel Aoun tersebut bangkit dari keterpurukannya. 

Mengutip BBC, keruntuhan ekonomi Lebanon, menurut analisis banyak pakar, adalah dampak dari politik dalam negeri. Sistem konfesionalisme yang dianut justru menjadi boomerang yang memberikan multiefek, tidak hanya berimplikasi pada ambruknya ekonomi negara, tetapi juga kondisi sosial dan politik. Lebanon mengakui 18 komunitas agama yang terdiri dari empat Muslim, 12 Kristen, Sekte Druze, dan Yudaisme. Tiga kantor politik utama yaitu presiden, ketua parlemen, dan perdana menteri dibagi di antara tiga komunitas terbesar yakni Kristen Maronit, Muslim Syiah, dan Muslim Sunni. Pembagian kekuasaan masing-masing berdasarkan perjanjian yang dimulai pada 1943. Sementara itu 128 kursi Parlemen juga dibagi secara merata antara Kristen dan Muslim (termasuk Druze).

Yang jadi masalah adalah, masing-masing kelompok mempunyai agenda dan kepentingan masing-masing. Elite politik saat ini yang berkuasa adalah kelompok sama yang berperang dan kemudian mengubah milisi mereka menjadi partai politik. Mereka termasuk para pemimpin komunitas Kristen, Sunni, Syiah, dan Druze yang mengambil posisi pemerintah dan membeli saham di bank. Masing-masing kelompok itu kemudian meminjamkan uang untuk proyek-proyek resmi yang dilakukan perusahaan yang dimiliki pejabat atau teman atau kerabat mereka. Para elite diperkaya dengan mengorbankan orang miskin, dan fondasi dari keruntuhan saat ini diletakkan. Semboyan negara  Kullunā lil-waṭan, lil-ʻula, lil-ʻalam atau “Kita semua untuk negara, untuk kemuliaan, untuk bendera", hanya diletakkan sebagai jargon belaka.

Kepada Washington Post, Wakil Direktur Reginonal Organisasi Pangan Dunia PBB, Nicolas Oberlin,m menyatakan dari 6,8 juta orang yang tinggal di negara itu, 1 dari 5 adalah pengungsi, sebagian besar dari mereka adalah warga Suriah. Jumlah mereka menyumbang populasi per kapita tertinggi di dunia. Menurut angka PBB dan Bank Dunia, kelompok inilah yang terpukul paling keras karena krisis dan hilangnya pekerjaan di sektor formal. “Ratusan ribu warga Lebanon sekarang diperkirakan akan bergabung dengan mereka dalam kemiskinan,” ujar dia.

PBB sendiri telah memberikan logistik makanan untuk 750 ribu pengungsi Suriah di Lebanon. Dan sekarang, untuk pertama kalinya sejak perang 2006 dengan Israel, organisasi itu berencana untuk mulai mendistribusikan makanan kepada orang-orang Lebanon yang kelaparan dengan harapan mencapai jumlah yang setara pada akhir tahun.

Lemahnya kekuataan nasional ini membuka peluang intervensi kekuatan luar, dalam hal ini Hizbullah yang didukung Iran. Hizbullah mempunyai pengaruh politik yang sangat dominan di Lebanon. Faktor ini termasuk satu dari sekian alasan, sejumlah negara, termasuk negara-negara sahabat di Timur Tengah enggan mengulurkan tangannya, di tengah peningkatan sanksi Amerika Serikat terhadap Hizbullah, Iran, dan Suriah.

Negara Barat yang selama ini menjadi penopang Lebanon, enggan memberikan bantuan selama pemerintahan tidak melakukan reformasi besar-besaran terhadap korupsi di sektor publik. 

Paket pinjaman dan investasi senile 11 miliar  dolar AS telah ditawarkan sejak 2018,  dengan syarat pemerintah melakukan beberapa perubahan terbatas. Tapi sayangnya syarat tersebut tak kunjung dipenuhi Lebanon. Lebanon berada di peringkat 137 dari 180 negara (180 menjadi yang terburuk) pada Indeks Persepsi Korupsi 2019 Transparency International. Partai politik, parlemen, dan kepolisian dianggap sebagai "lembaga paling korup di negara itu. Lebanon adalah negara dengan sistem politik konfesionalisme yang sangat rawan, dari luar tampak ideal dan menjanjikan: menyatukan berbagai unsure politik berdasarkan sekte-sekte agama yang ada, namun sejatinya rapuh. Sektarianisme sama yang sebenarnya menjadi biang masalah di Timur Tengah.

 *) Penulis adalah jurnalis Republika.co.id

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement