REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Jepang mengalami kontraksi ekonomi terbesar dalam catatan pada kuartal kedua 2020. Pandemi virus corona menghancurkan bisnis dan belanja konsumen di Jepang.
Kondisi tersebut menempatkan para pembuat kebijakan di bawah tekanan untuk tindakan yang lebih berani guna mencegah resesi semakin dalam. Data pemerintah pada Senin (17/8) menunjukkan, produk domestik bruto (PDB) Jepang menyusut 27,8 persen secara tahunan pada April-Juni.
Angka penurunan ini, menandai penurunan terbesar sejak data pembanding tersedia pada 1980. Angka tersebut merupakan kontraksi kuartalan ketiga berturut-turut dan penurunan yang lebih besar dari median perkiraan pasar untuk penurunan 27,2 persen.
Konsumsi swasta, yang menyumbang lebih dari setengah ekonomi Jepang, turun 8,2 persen untuk kuartal tersebut, lebih besar dari perkiraan para analis untuk penurunan 7,1 persen. Belanja modal turun 1,5 persen pada kuartal kedua, lebih rendah dari rata-rata perkiraan pasar untuk penurunan 4,2 persen.
Permintaan eksternal atau ekspor dikurangi impor, terpangkas 3,0 poin persentase dari PDB, karena pandemi mengurangi permintaan global, data menunjukkan.
Jepang telah mengerahkan stimulus fiskal dan moneter besar-besaran untuk meredam pukulan dari pandemi, yang melanda ekonomi yang sudah terhuyung-huyung dari kenaikan pajak penjualan tahun lalu dan perang perdagangan AS-China.
Sementara, ekonomi telah dibuka kembali setelah pemerintah mencabut langkah-langkah darurat pada akhir Mei, kebangkitan infeksi yang mengkhawatirkan mengaburkan prospek bisnis dan pengeluaran rumah tangga.