Ahad 30 Aug 2020 07:37 WIB

Lumpur Blora, Ada Potensi Amblas dan Perlu Mitigasi

Semburan Kesongo hanya sebagian dari Komplek Gunung Lumpur Kradenan.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Friska Yolandha
Semburan lumpur panas kawasan Kesongo, di wilayah Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, Jawa Tengah mengundang perhatian warga untuk melihat dari dekat, Kamis (27/8).
Foto: tangkapan layar
Semburan lumpur panas kawasan Kesongo, di wilayah Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, Jawa Tengah mengundang perhatian warga untuk melihat dari dekat, Kamis (27/8).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Dosen Teknik Geologi FT UGM, Salahuddin Husein mengatakan, di bagian tengah Pulau Jawa sebelah timur munculnya gunung lumpur merupakan fenomena jamak. Semburan di Kesongo hanyalah sebagian dari Komplek Gunung Lumpur Kradenan.

Semburan terjadi di Hutan Kesongo, Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Kamis (27/8). Semburan tidak cuma menghamburkan lumpur dan gas tetapi juga getaran yang terasa sampai radius satu kilometer.

Baca Juga

Salahuddin mengatakan, gunung lumpur lain muncul di area luas seperti Kuwu, Medang, Crewek, Banjar Lor, Cangkingan dan Medang. Ke timur, ada Denanyar, Gresik, Dawar Blandong, Penganson, Sidoardo, Porong, Anyar, Pulungan sampai di dasar Selat Madura.

"Gunung lumpur (mud volcanoes) merupakan fenomena lazim dalam cekungan sedimentasi yang mengalami pengendapan secara cepat dan di daerah yang secara tektonik aktif," kata Salahuddin, Ahad (30/8).

Walaupun gempa besar jarang terjadi, ada beberapa gempa kecil pernah terjadi menyebar beberapa tahun belakangan. Terdapat penampang geologi di daerah itu yang mulai dibangun sedimentasi batuan laut dangkal 45 juta tahun lalu.

Formasi demi formasi batuan diendapkan saling bertumpuk, termasuk Tawun yang akan jadi sumber lumpur Kesongo. Laju cepat pengendapan umumnya cegah lumpur mengeras dan membatu, jadi walau ditumpuk formasi lain Tawun tetap lumpur.

Kelak, kata Salahuddin, ketika bagian utara Pulau Jawa mulai terangkat (dua juta tahun silam), bagian laut dangkal itu didorong gaya tektonik dan muncul ke permukaan. Kondisi inilah yang akhirnya membentuk serangkaian perbukitan.

Di daerah utara Jawa Tengah hingga Jawa Timur, rangkaian perbukitan tersebut dinamai Zona Rembang. Sering pula disebut Zona Perbukitan Kapur Utara karena banyaknya lapisan batu gamping atau batu kapur di kawasan tersebut.

Lumpur di Kesongo ada di Zona Perbukitan Rembang Selatan, di puncak struktur antiklin gabus. Tekanan kompresif patahan anjak mempengaruhi kekuatan batuan sekitar, terlebih lapisan lumpur yang masih lunak di Formasi Tawun.

Ia mengingatkan, getaran-getaran dan gempa-gempa yang merambat lewat patahan dan batuan memperbesar tekanan yang diterima lapisan lumpur. Kekuatan geser butiran lumpur kurang, mendorongnya ke atas menuju tekanan lebih rendah.

"Pergerakan ke atas ini membentuk pipa lumpur (mud diapir) yang bila mampu menembus permukaan bumi jadi gunung lumpur (mud volcano)," ujar Salahuddin.

Munculnya lumpur ke permukaan menyebabkan rongga yang semula dilalui kosong, dan permukaan sekitar akan amblas membentuk depresi melingkar (kaldera). Semakin besar volume lumpur yang ke luar, maka semakin besar area amblasan.

"Gunung Lumpur Kesongo memiliki depresi amblasan yang paling besar dibanding gunung-gunung lumpur lain di Kompleks Kradenan dengan diameter 1,3 kilometer dan menempati area 135 hektar," kata Salahuddin.

Semburan lumpur membuat tidak ada pepohonan mampu tumbuh di depresi kaldera Kesongo. Hanya rerumputan dan semak belukar yang mendominasi. Warga sekitar lebih mengenalnya sebagai oro-oro karena banyak rumput untuk gembala ternak.

"Gunung lumpur yang menyebabkan kaldera seluar itu kini sudah hilang diganti berbagai kerucut lumpur (grifon) dan genangan lumpur (salsa) di sekitarnya," ujar Salahuddin.

Saat ini, salsa yang aktif terisi lumpur basah menempati sisi barat, dengan diameter 0,3 kilometer dan area 8 hektare. Tidak diketahui sejak kapan salsa aktif, namun citra satelit 20 tahun terakhir sudah tampak dinamika grifon.

Ini mengindikasikan dinamika erupsi lumpur dan diapir di bawahnya. Awalnya, grifon ada di barat laut salsa, letupan besar 2009 membesar, letupan besar 2013 pindah ke timur salsa, dan sejak 2016 menempati sisi selatan salsa.

"Apakah akan terjadi lagi letupan lumpur besar pada masa mendatang? Proses alam selalu akan berulang, apabila material masih tersedia dan perpindahan energinya masih sama," kata Salahuddin.

Mitigasi bencana bisa diterapkan, mengingat fenomena gunung lumpur kesamaan dengan proses vulkanisme gunung berapi, beda material dan energi. Indonesia, pemilik 127 gunung api aktif, mitigasi gunung api telah miliki protokol baku.

Namun, ia mengingatkan, implementasinya untuk mitigasi bencana gunung lumpur seperti di Kesongo miliki tantangan tersendiri. Terlebih, di kawasan tidak berpenduduk dan memiliki dampak letusan dengan radius tidak terlalu besar.

Kondisi itu membuat seperti tidak adanya ancaman bencana kepada masyarakat, ekonomi dan infrastruktur. Tapi, perlu diperhatikan karena aktivitas warga sekitar seperti petani, peladang, penggembala, dan penambang garam.

Untuk itu, upaya-upaya mitigasi tetap perlu dihadirkan. Sosialisasi gejala awal bencana letusan gunung lumpur, pemasangan alat monitoring sederhana, sampai menghadirkan instrumen-instrumen peringatan dini.

Pemerintah daerah dapat mengajak beberapa perusahaan minyak dan gas bumi yang beroperasi di kawasan itu membangun sistem mitigasi bencana gunung lumpur. Sebab, kedua pihak sama-sama berkepentingan.

"Pemerintah daerah berupaya melindungi warganya dan ekonominya, sedangkan perusahaan minyak berupaya pelajari dinamika diapir lumpur yang berdampak terhadap keberadaan hidrokarbon di bawah permukaan bumi," ujar Salahuddin.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement