REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- IPB University bekerja sama dengan Forum Logistik Peternakan Indonesia (FLPI) mengadakan training secara daring tentang ketelusuran (traceability) pada rantai pasok sapi potong, (19/9).
Training ini digelar untuk menindaklanjuti kondisi konsumsi pangan daging yang semakin meningkat di negara berkembang seperti Indonesia. Selain itu, kurangnya pengetahuan konsumen terhadap asal pangan tersebut, kelayakannya untuk dikonsumsi, serta kurangnya sistem yang menggaransi membuat bahasan pada training ini penting. Terlebih lagi sistem ketelusuran untuk sapi lokal belum ada.
Menurut Prof Kudang Boro Seminar, dekan Fakultas Teknologi Pertanian IPB University dan Pakar Komputasi Pertanian, konsep traceability berbasis teknologi informasi merupakan sistem yang harus segera diimplementasikan di Indonesia . Dengan adanya sistem tersebut, perjalanan suatu produk agroindustri mulai dari awal penemuan bibit unggul sampai ke tangan konsumen beserta pihak yang terlibat di dalamnya akan lebih mudah diidentifikasi dan diawasi.
Ia juga menerangkan, pemegang kewenangan dan hukum perlu mengetahui bila produsen telah mengikuti praktek pemotongan hewan yang baik untuk memenuhi rantai nilai dan produksi daging sapi. Kasus pengoplosan daging serta permainan harga yang diakibatkan oleh mafia sapi dari hulu ke hilir masih sering ditemukan, sehingga sistem traceability merupakan salah satu solusi untuk mengatasinya.
Penggunaan E-traceability ini tidak terbatas ruang dan waktu serta kemampuan mengaksesinformasi lebih cepat dengan bantuan satelit. Perubahan sistem pelacakan sapi digital menggunakan Radio Frequency Identification (RFID) menjadikan pengawasan terhadap pelaku usaha sapi potong lebih terpadu, memenuhi prinsip animal welfare dan penjaminan kehalalan.
“Jadi pada dasarnya kita dapat mengusung food protection, food defense, sustainability dan security,” terang Prof Kudang dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Dalam sejarahnya, Tri Nugrahwanto, Supply Chain Manager PT Tanjung Unggul Mandiri, mengatakan bahwa praktik traceability mulai diterapkan pasca penghentian ekspor sapi Australia pada tahun 2011. Penghentian ekspor sapi ini diketahui karena pelaku usahanya melakukan pelanggaran animal welfare. Sistem pelacakan feedlot dilakukan mulai dari unloading sapi di pelabuhan hingga rumah pemotongan hewan (RPH) maupun pedagang. Sistem tersebut juga dipraktikkan untuk memenuhi rantai pasok dengan adanya audit pada setiap lini.
Ia juga menyebutkan bila Australia sendiri memiliki lembaga National Livestock Identification System yang mengelola traceability dan mencakup segala hal dalam lini peternakan sapi dan domba. Adapun manfaat lain dari sistem e-traceability ini ditujukan untuk meningkatkan potensi ekonomi peternak melalui keterlacakan data sapi hingga penentuan kisaran harga pasar dapat tercipta lebih baik.