Selasa 22 Sep 2020 18:19 WIB

Hakikat Taat yang Sesungguhnya

Menurut ajaran Islam, taat hanya berlaku dalam hal takwa kepada Allah SWT

Hamba Allah yang Taat (Ilustrasi)
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Hamba Allah yang Taat (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kata taat merupakan serapan dari bahasa Arab yang berarti 'menemani' atau 'mengikuti.' Dalam perspektif keagamaan, hakikat taat ialah sikap dan tindakan yang tulus untuk mematuhi perintah Allah SWT dan Rasul-Nya.

Kebalikan dari taat adalah maksiat. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Tidak ada keharusan menaati perintah jika ia bermaksiat kepada Allah. Namun, keharusan taat itu berlaku dalam rangka berbuat kebaikan" (HR Bukhari dan Muslim).

Baca Juga

Sayyid Quthb dalam Fi Zhilal al-Qur'an menjelaskan, energi taat bersumber dari nilai-nilai tauhid. Karena itu, bagi seorang Muslim ketaatan haruslah berdasarkan rujukan Alquran. Yakni, taat kepada Allah, Rasulullah SAW, dan pemimpin atau ulil amri (QS an-Nisa'[4]: 58).

Beragama Islam tanpa dibarengi ketaatan adalah sia-sia. Said Hawwa berpendapat, tidak ada yang lebih penting dalam Islam selain tiga hal, yakni takwa, ibadah, dan taat.

Dua hal pertama ibarat dua sisi mata uang. Adapun taat merupakan kunci terlaksananya dua hal tersebut.

Rahmat yang dibawa Islam akan terasa bagi semua jika setiap Muslim berkomitmen untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Realisasi taat dapat diwujudkan dengan cara berjamaah, bersatu--bukan bercerai-berai apalagi saling berselisih.

"Tidak ada Islam tanpa berjamaah, sementara tidak ada jamaah tanpa ada kepemimpinan, dan tidak ada kepimpinan tanpa ketaatan." (HR ad-Darimi).

Dalam bermasyarakat dan bernegara, ketaatan pun merupakan kunci keberhasilan. Jika pemimpin mampu memberi keteladanan dalam ketaatan menegakkan hukum, misalnya, maka rakyat pun akan ikut mematuhi hukum. Hukum akan berwibawa, jauh dari fungsi sebagai alat kekuasaan.

Sebaliknya, jika pemimpin hanya menebar pesona, berjanji tanpa bukti, menginstruksikan ketaatan tanpa keteladanan, kepemimpinannya ibarat 'macan ompong'. Tidak akan efektif.

sumber : Hikmah Republika oleh Muhih Abdul Wahab
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement