REPUBLIKA.CO.ID, Sejumlah sarjana Barat menyebutkan Amerika Serikat memerangi kaum yang mereka sebut sebagai Muslim militan atau Muslim radikal.
Di antara sarjana tersebut adalah Prof Samuel P Huntington melalui bukunya, Who Are We? (New York: Simon & Schuster, 2004). Menurut dia, setelah peristiwa 11 September 2001, AS sudah menemukan musuh barunya, yakni Islam militan. Musuh baru ini telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS.
"The rhetoric of America's ideological war with militant communism has been transferred to its religious and cultural war with militant Islam." Jadi, kata Huntington, perang ideologis antara AS dan komunis militan telah digantikan dengan perang agama dan perang budaya melawan kaum Islam militan.
Perubahan kebijakan AS, yang kemudian diikuti para sekutunya memang begitu mencolok. Simaklah kembali film "Rambo III" yang mengambil seting perang di Afghanistan melawan pendudukan Uni Soviet. Ketika itu, sang jagoan dari AS itu begitu akrab dengan para pejuang Afghanistan. Mereka juga diberi julukan mulia, mujahidin. AS dan mujahidin bahu-membahu dalam melawan pasukan komunis di Afghanistan.
Pasca-Perang Dingin, peta dunia berubah. Komunis runtuh. Uni Soviet berantakan. Tata dunia baru pun disusun kembali. Musuh baru harus dirumuskan. Karena itulah, Huntington menyebut buku terkenalnya dengan judul The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. Sebagaimana Bernard Lewis dan para pemikir neokonservatif lainnya, Huntington sudah jauh-jauh hari mengingatkan Barat agar mereka waspada terhadap perkembangan Islam. Sebab, Islam adalah satu-satunya peradaban yang pernah menggoyahkan dan mengancam eksistensi peradaban Barat.
Ilmuwan seperti Huntington meletakkan konsep "harus ada musuh" sebagai hal penting bagi AS, untuk memberikan legitimasi terhadap kehadiran ratusan ribu pasukannya di berbagai belahan dunia. Karena itulah, tulis Huntington dalam The Clash of Civilizations: "It is human to hate. For self definition and motivation people need enemies."
Majalah Newsweek, Special Davos Edition, Desember 2001-Februari 2002, memuat pernyataan ilmuwan terkenal Francis Fukuyama: "Radical Islamist, intolerant of all diversity and dissent, have become the fascists of our day. That is what we are fighting against".
Sejak Amerika Serikat secara resmi meluncurkan perang melawan Islam militan (Islam radikal), banyak Muslim di dunia kemudian mengaku-aku menjadi pengikut Islam moderat. Daniel Pipes, seorang kolumnis AS terkenal, menulis, jika Islam militan merupakan masalah, solusinya adalah Muslim moderat.
Tapi, Pipes menyarankan, AS jangan mudah percaya kepada orang Islam yang mengaku-aku sebagai moderat. Mereka perlu dites dengan sejumlah pertanyaan untuk membuktikan apakah pengakuannya itu asli atau palsu. Maka, jika Anda seorang Muslim, silakan menjawab sederet daftar pertanyaan Pipes berikut ini: Lalu, simpulkan sendiri, apakah Anda termasuk Muslim moderat atau radikal?
(1) Apakah perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki? (2) Apakah jihad, sebagai bentuk peperangan, masih bisa diterima sekarang? (3) Apakah Anda menerima keabsahan agama lain? (4) Apakah Muslim perlu belajar dari Barat? (5) Apakah seharusnya non-Muslim menerima hak-hak sipil yang benar-benar sama dengan Muslim? (6) Bolehkah Muslim berpindah agama? (7) Bolehkah Muslimah mengawini laki-laki non-Muslim? (8) Apakah seharusnya pemerintah mencampuri urusan keagamaan seperti soal berjualan makanan di bulan Ramadhan? (9) Ketika ada pertentangan antara aturan Islam dan sekuler (seperti menutup wajah pada foto SIM), manakah yang didulukan? (Dikutip dari buku Siapakah Muslim Moderat, ed Suaidi Asy'ari).
Pipes menyebut sejumlah contoh orang yang kemoderatannya tidak diragukan lagi sehingga bisa dijadikan sebagai "teman bagi AS", seperti Abdelwahab Meddeb (penulis buku Malady of Islam), Ibnu Waraq (telah murtad/keluar dari Islam), Ayaan Hirst Ali (yang pernah menyebut Islam sebagai agama terbelakang), Irsyad Manji (Muslimah yang secara terbuka menyatakan diri sebagai lesbian).
Strategi AS untuk mengadu Muslim Moderat versus Muslim radikal ditegaskan oleh Paul Wolfowitz, mantan menhan AS: "Untuk memenangkan perjuangan yang lebih dahsyat ini, adalah sebuah kesalahan kalau menganggap bahwa kita yang memimpin. Tapi, kita harus semaksimal mungkin mendorong suara-suara Muslim moderat. Hal ini merupakan debat tentang nilai Islam yang harus dilakukan antar-Muslim sendiri".
*Artikel merupakan bagian naskah artikel Dr Adian Husaiani yang tayang di Harian Republika, 2011.