Selasa 13 Oct 2020 14:37 WIB

Muhammadiyah di Bawah Pimpinan 4 Guru Besar

Muhammadiyah terlahir untuk mengurus kehidupan sosial dan keagamaan.

Deni al Asyari, Direktur Suara Muhammadiyah
Foto: Dokumentasi pribadi
Deni al Asyari, Direktur Suara Muhammadiyah

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Deni al Asyari, Direktur Suara Muhammadiyah

Sejak pergantian kepemimpinan Muhammadiyah dari Bapak KH Ahmad Azhar Basyir (1994), Muhammadiyah secara bergantian dipimpin oleh para tokoh dengan latar belakang Profesor (akademisi). Sebut saja mulai kepemimpinan Prof Amien Rais (1995), Prof A. Syafii Maarif (1998), Prof Din Syamsuddin (2005), hingga Prof Haedar Nashir (2015), semua berlatar belakang guru besar dari masing-masing kampus yang berbeda.

Dalam membaca relasi Muhammadiyah dan negara, 4 kepemimpinan di bawah masing-masing guru besar ini, juga memiliki corak, gaya dan irama yang berbeda. Walau secara substansi, sesungguhnya sama. Karena, Muhammadiyah dalam tindakan dan kebijakannya, tidak lepas dari khittah perjuangannya dan pedoman hidup Islami dalam berorganisasi.

Bagi sosok Prof Amien Rais, Relasi Muhammadiyah dan Negara cenderung bersifat oposisi biner. Dalam arti, Prof Amien Rais meletakkan Muhammadiyah sebagai kekuatan Civil Society dalam memperkuat demokrasi.

Maka, tidak heran, sejak dulu hingga saat sekarang, beliau tidak pernah absen dari mengkritik pemerintah (rezim) yang berkuasa. Sekalipun rezim itu didukung oleh beliau langsung. Karena tanpa kontrol yang kritis, negara bisa saja salah arah. Maka Muhammadiyah sebagai kelompok Civil Society, sangat penting menunjukkan konsistensinya mengawal jalannya pemerintahan.

Sedangkan bagi Prof A Syafii Maarif, menempatkan relasi Muhammadiyah dengan negara lebih akomodatif-Kritis. Artinya, dalam satu moment, Muhammadiyah akan berikan kritik dan presure, tetapi pada sisi lain, Muhammadiyah juga akomodatif terhadap negara. Sebab, Prof A Syafii Maarif, meyakini, Muhammadiyah terlahir bukan disiapkan untuk mengurus negara, melainkan untuk mengurus kehidupan sosial dan keagamaan yang bersifat kultural.

Tidak jauh berbeda dengan pandahulunya, Prof Din Syamsuddin, juga cenderung menempatkan relasi negara dan Muhammadiyah, sebagai relasi kritis-konstruktif. Muhammadiyah dalam konteks ini, lebih diposisikan sebagai gerakan balancing atau penyeimbang bagi kekuatan negara.

Karenanya, bagi Prof Din Syamsuddin, Muhammadiyah bukan saja perlu menjaga jarak yang sama dengan politik, namun juga perlu menjaga kedekatan yang sama dengan semua kekuatan politik. Sebab ada saatnya Muhammadiyah harus mengkritik dan ada kalanya Muhammadiyah harus menerima, jika itu diangap baik bagi bangsa.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement