REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Bertempat di Ruang Multimedia 1, Lt.3, Gedung Kantor Pusat Universitas Gadjah Mada (UGM), Bulaksumur, Kota Yogyakarta, Senin (26/10), MPR bersama dengan Dewan Guru Besar (DGB) UGM menggelar focus group discussion (FGD). Sosialisasi Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika atau yang lebih dikenal dengan Empat Pilar MPR dalam bentuk FGD itu bertema ‘Wacana Amandemen UUD NRI Tahun 1945 Khususnya Terkait Dihidupkannya Kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)’.
Hadir dalam FGD, Wakil Ketua MPR Syarief Hasan, Wakil Rektor UGM Prof. Dr. Ir. Djagal Wiseso Marseno, M.Agr; Ketua DGB UGM Prof. Drs. Koentjoro, M.BSc, Ph.D; serta puluhan guru besar lainnya, seperti Prof. Dr. Kaelan dan Prof. Dr. Sofian Effendi.
Di hadapan peserta FGD, baik yang hadir langsung maupun secara daring, Syarief Hasan mengucapkan terima kasih kepada kampus tertua di Indonesia itu sebab dirinya disambut dengan hangat dan terbuka. Dikatakan, di tengah pandemi Covid-19 di bulan ke-10, kita semua merasa prihatin.
“Dalam kehidupan kita harus menerapkan protokol kesehatan,” tuturnya.
Meski dalam masa yang demikian, serta aturan protokol yang mesti dilakukan, MPR tetap melaksanakan tugas-tugas kenegaraannya. “Hal demikian menunjukan bahwa kita cinta kepada rakyat, bangsa, dan negara,” ujar Menteri Koperasi dan UMKM di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu.
“Kami juga melakukan apresiasi kepada UGM dan civitas akademikanya yang bersama MPR melakukan kegiatan seperti ini,” tambahnya.
Diungkapkan, beberapa tahun ini muncul wacana mengenai amendemen UUD. Wacana ini menurutnya amanah atau rekomendasi dari MPR periode 2014-2019. Sebagai amanah atau rekomendasi MPR sebelumya, MPR periode ini yakni 2019-2024 diharap mampu menuntaskan keinginan tersebut. “Semua pimpinan MPR menyepakati hasil rekomendasi pimpinan MPR sebelumnya,” ungkapnya.
Meski demikian dalam masalah amendemen, pria asal Sulawesi itu tetap menekankan perlunya kehatihatian. “Selama ini kita terus melakukan pendalaman materi dan berkomunikasi dengan seluruh komponen bangsa,” paparnya. Wacana mengenai amendemen diakui mengembang, tak sebatas pada masalah GBHN.
Dalam menyikapi amendemen, pimpinan MPR membagi tugas untuk menjaring aspirasi masyarakat berdasarkan cluster-cluster. “Setiap kelompok yang merepresentasikana masyarakat kita ajak rembugan," tuturnya.
Sebagai pimpinan MPR, Syarief Hasan mengatakan dirinya kerap menjaring aspirasi mengenai wacana amendemen dengan intelektual, akademisi, dan civitas akademika dari berbagai perguruan tinggi. Sebelum Covid-19 melanda, kepada peserta acara itu ia mengatakan telah mengunjungi berbagai perguruan tinggi, mulai dari Aceh, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Bali, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan provinsi lainnya. “Sebelum di UGM, saya menjaring aspirasi mengenai wacana amademen UUD di Universitas Padjadjaran. Jadi kami fokus pada akademisi,” tambahnya.
Dirinya merasa senang menjaring dan mendengar aspirasi dari kalangan intelektual, akademisi, dan civitas akademika sebab kelompok ini dirasa sebagai kelompok yang independent. “Meski ada satu dua yang tidak namun mayoritas kelompok masyarakat ini adalah kaum independent,” ucapnya.
Terkait keberadaan UUD, Syarief Hasan mengatakan di tengah masyarakat ada tiga kelompok yang menyikapi konstitusi ini, ada yang ingin kembali ke UUD Tahun 1945 yang asli, ada yang ingin mempertahankan yang sudah ada, ada pula yang ingin melakukan amendemen kembali. “Semua itu ada plus minusnya,” ujarnya.
Semua keinginan ada konsekuensinya. Dikatakan bangsa ini telah melakukan beberapa kali amendemen UUD. Amendemen membawa perubahan yang mendasar, di antaranya adalah MPR tidak lagi menetapkan dan membuat GBHN.
Ketika, ada keinginan keinginan memasukan perlunya GBHN diatur dalam UUD menurut Syarief Hasan kelak akan menimbulkan pertanyaan selanjutnya, apakah nanti Presiden akan mempertanggungjawabkan kepada MPR dan bila GBHN masuk dalam UUD, apakah nanti akan membuat MPR menjadi lembaga tertinggi lagi. Hal-hal demikianlah yang membuat masalah menjadi komplek dan saling terkait. Terkait semua wacana yang ada, menurutnya perlu ada komitmen nasional yang diambil dari konsekuensi-konsekuensi yang ada. “Kita harus memilih yang terbaik”, tegasnya.
Ketika tidak ada GBHN, menurut Syarief Hasan, pemerintah melakukan pembangunan berdasarkan UU. No. 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025 dan UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Undang-undang itu menurutnya diimplementasikan oleh Presiden SBY dan hasilnya membawa hasil yang baik dalam pembangunan. “Banyak kemajuan yang dicapai Presiden SBY,” tuturnya.
“Untuk itulah dalam FGD ini kami ingin banyak mendengar dari para guru besar,” ungkapnya. Apa yang disampaikan menurut Syarief Hasan akan dijadikan dokumen dan dibawa dalam pembahasan-pembahasan di MPR.
Koentjoro dalam sambutan mengatakan, DGB UGM merasa senang bisa diajak ikut menyelesaikan permasalahan bangsa. “Untuk itu kami antusias melakukan kegiatan ini,” tuturnya. Diakui setiap negara mempunyai tujuan dalam berbangsa dan bernegara. Pointer-pointer pembangunan pada masa lalu, itu termaktub dalam GBHN. “Agar tidak menimbulkan masalah maka haluan negara yang ada harus mengacu pada Pancasila,” ujarnya.
Djagal Wiseso menuturkan wacana amendemen merupakan isu strategis bagi bangsa. Untuk itu dirinya menyebut tepat bila DGB mengangkat masalah ini. Dalam menyikapi setiap masalah yang ada, menurut Djagal Wiseso bahwa kampus adalah kumpulan ilmuwan bukan politisi. Untuk itu harus berpegang pada prinsip, boleh salah tapi tak boleh berbohong.
Dalam proses ketatanegaraan menurutnya Indonesia tak boleh berkiblat pada salah satu kekuatan dunia. “Kita harus berkiblat pada ke-Indonesia-an sendiri,” tegasnya. Ia menyampaikan pesan bila negeri ini mau langgeng, maka ia harus berpegang teguh pada nilai-nilai pendahulunya.