REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Polemik Emmanuel Macron dimulai saat dirinya mendapat kecaman dari kaum konservatif Prancis.
Saat itu, dirinya menyarankan bahwa mengajar bahasa Arab di sekolah-sekolah, diklaim dapat membantu memerangi Islam radikal.
Beberapa waktu selanjutnya, Presiden Prancis itu kembali terlibat dalam pertikaian diplomatik dengan negara-negara Muslim, utamanya atas tindakan keras terhadap Islam.
Perdebatan Macron kemudian memuncak, ketika pemenggalan kepala seorang guru yang sempat menyajikan kartun Nabi Muhammad dekat Paris terjadi. Meski demikian, konflik Prancis vs Islam telah menyebar pada situasi yang lebih luas, khususnya ketika produk Prancis diboikot di berbagai negara.
Jika menilik ke belakang, penanggulangan Islam radikal atau yang masyarakat umum kenal dengan ‘Islam de Lumières’ merupakan kebijakan lama presiden Prancis. Masalah ini kembali mencuat ke publik, setelah serangan teroris di Paris lima tahun lalu, yang menyebabkan 131 orang tewas.
Atas dasar itu, Macron pada pekan lalu menegaskan bahwa pemerintahannya telah meningkatkan tindakan untuk mengatasi serangan terbaru. "Ini bukan tentang membuat pernyataan baru, kami tahu apa yang perlu kami lakukan,’’ katanya dalam pidato.
Namun demikian, pidato yang memicu kemarahan Muslim ada di dua pekan lalu sebelum pemenggalan pada guru terjadi. Pada 2 Oktober, Macron menyatakan bahwa pihaknya berencana untuk memerangi separatisme.
Dirinya juga menggambarkan Islam sebagai ‘agama yang sedang mengalami krisis di seluruh dunia saat ini’. Dua pekan setelahnya, komentar Macron ditanggapi serius oleh guru yang menunjukkan karikatur Nabi Muhammad, sebelum dirinya dipenggal pemuda Muslim asal Chechnya.
Pascapembunuhan itu, otoritas Prancis memang melakukan banyak aksi yang merugikan umat Muslim setempat. Dalam laporan New York Post, pemerintah Prancis bahkan melakukan lusinan penggerebekan terhadap terduga ekstremis Islam, menutup masjid besar dan menutup beberapa kelompok bantuan Muslim.
Lebih jauh, mengutip the week Kamis (29/10) Charlie Hebdo, majalah satir Prancis juga memicu kemarahan Muslim di seluruh dunia. Pasalnya, alasan 10 staf yang terbunuh pada 2012 lalu, digunakannya untuk mencetak ulang gambar Nabi Muhammad.
"Dua kota Prancis, Toulouse dan Montpellier, memproyeksikan karikatur Charlie Hebdo termasuk yang dari nabi Islam di dinding gedung dewan daerah mereka sebagai tanda pembangkangan," tulis The Guardian.
Alhasil, Presiden Turki Erdogan mulai mengkritik secara vokal pada Prancis, Charlie Hebdo hingga Macron. Menurutnya, perlakuan Prancis terhadap Muslim tidak berbeda dari perlakuan genosida terhadap Yahudi Eropa sebelum Perang Dunia Kedua.
Tak hanya Erdogan, dirinya juga menjadi cerminan para pemimpin Islam di seluruh Timur Tengah yang ikut menolak sikap Prancis. Bahkan, surat kabar Iran garis keras, melabeli Macron sebagai ‘Demon of Paris’.
Jauh sebelum gelombang penolakan Timur Tengah terhadap Macron, ada respons Prancis terhadap pernyataan Erdogan. Khususnya, ketika Prancis menarik duta besarnya dari Turki dan mengeluarkan "peringatan keamanan untuk warga Prancis di negara bagian mayoritas Muslim", kata The Guardian.
Bukannya menyatakan perdamaian, Prancis hingga kini bahkan diketahui bertekad untuk mempertahankan tradisi laïcité, atau sekularisme dan tetap mengkritik semua agama. Padahal, tradisi kartun politiknya terhadap larangan Islam, sempat memicu pembunuhan pada 10 staf Charlie Hebdo, termasuk pemenggalan guru, Samuel Paty.
"Kami adalah hasil dari sejarah kami: nilai-nilai kebebasan, sekularisme, dan demokrasi ini tidak bisa hanya berupa kata-kata," kata seorang demonstran di Paris saat demonstrasi menghormati Paty.