REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Presiden Prancis Emmanuel Macron melakukan percakapan via telepon dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas pada Senin (2/11). Pada kesempatan itu, Macron menegaskan dukungan Prancis terhadap solusi dua negara untuk penyelesaian konflik Israel-Palestina.
"Presiden Prancis Emmanuel Macron menegaskan kepada Presiden Mahmoud Abbas dukungan pantang menyerah Prancis untuk perdamaian di Timur Tengah berdasarkan solusi dua negara sesuai hukum internasional dan kesiapan Prancis melanjutkan upayanya untuk mencapai tujuan ini," kata kantor berita Palestina WAFA dalam laporannya.
Abbas kembali menyerukan tentang pentingnya mengadakan konferensi perdamaian internasional. Dia mengaku siap berpartisipasi dalam perundingan berdasarkan resolusi PBB di bawah naungan Kuartet Internasional, yakni Amerika Serikat (AS), Rusia, PBB, dan Uni Eropa.
Selain itu dia menekankan kepada Macron tentang perlunya setiap individu menghormati agama beserta simbolnya, termasuk Nabi Muhammad SAW dan nabi-nabi lainnya. Pada saat bersamaan, Abbas menolak ekstremisme dan terorisme dalam bentuk apa pun.
"Macron, di sisi lain, mengungkapkan rasa hormatnya terhadap Islam dan dunia Islam, menekankan bahwa dia tidak bermaksud untuk menyinggung Islam dan Muslim dan bahwa dia membedakan antara terorisme dan ekstremisme, di satu sisi, dan Islam dan dunia Islam, di sisi lain," tulis WAFA dalam laporannya.
Macron tengah menjadi sorotan dunia karena pernyataannya yang dianggap menggaungkan sentimen anti-Islam. Pernyataan tersebut dia ungkapkan saat menghadiri acara penghormatan terhadap Samuel Paty. Paty adalah guru yang dipenggal oleh muridnya setelah menunjukkan karikatur Nabi Muhammad SAW saat mengajar kelas kebebasan berbicara.
Macron memandang pembunuhan Paty sebagai serangan teroris Islam. Tak hanya itu, Macron turut menyebut Islam sebagai agama yang tengah dilanda krisis. Dia pun menegaskan akan membela penerbitan karikatur Nabi Muhammad sebagai wujud kebebasan berbicara dan berekspresi.
Pernyataan Macron dikecam oleh negara-negara Arab, termasuk Indonesia. Seruan untuk memboikot produk-produk Prancis kemudian menggelora di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim.