REPUBLIKA.CO.ID, MENTAWAI -- Pandemi Covid-19 tak menyurutkan semangat para guru di pulau-pulau terluar Indonesia untuk produktif dalam mengajar. Justru pandemi ini telah menjadi tantangan bagi para pendidik untuk kreatif memberikan pengajaran kepada para murid.
Seperti cerita pengajar di sekolah Darul Ulum di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Darul Ulum, Iswandi, mengungkapkan bagaimana perjuangan sekolah dan para guru dalam menghadapi pandemi ini. "Kami harus tiga jam perjalanan laut untuk mengajar dan memberikan tugas ke murid," cerita Iswandi saat berbincang dengan Republika.co.id, Rabu (28/10).
Para guru, lanjut Iswandi, diantar ke pulau tujuan dengan menggunakan perahu boat. Ada yang diantar ke Pagai Utara atau Pagai Selatan, tempat murid berasal. Karena perjalanan jauh dan cuaca Samudera Hindia yang kadang tak mendukung, mereka baru dijemput sepekan kemudian.
Sesampai di lokasi, menurut Iswandi, guru bertugas membimbing murid dalam kelompok kecil dan di ruang terbuka untuk meminimalisasi penyebaran Covid-19. Pembelajaran mengedepankan protokol Covid-19. Satu kelompok terdiri atas lima hingga enam anak didik. "Guru mengajar semua pelajaran dan memberikan tugas buat anak-anak," ujarnya.
Sebagai gambaran, sekolah Yayasan Darul Ulum berada di Kecamatan Sikakap, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Sekolah berdiri di tanah lapang di tepi perbukitan. Jarak antara Sikakap ke Pelabuhan Teluk Bungus, Padang, adalah sekitar 170 kilometer dengan menempuh jalur laut.
Iswandi mengungkapkan, siswa di MA Darul Ulum ada sekitar 40 orang. Mayoritas adalah anak-anak tidak mampu di Kepulauan Mentawai. Jika tidak ada pandemi mereka menginap di asrama Darul Ulum. Namun selama Covid-19 para siswa dipulangkan ke daerah asal. "Kita ini menampung anak-anak pulau," tuturnya.
Ia mengakui keterbatasan sinyal 4G membuat sekolah daring (dalam jaringan) sulit berjalan. Karena tidak semua pulau-pulau kecil di Mentawai bisa terakses sinyal 4G. Meski demikian, menurut Iswandi, sinyal komunikasi di Mentawai sudah semakin baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Sejumlah sekolah telah dipasang akses Wifi. Di Kecamatan Sikakap juga sudah ada akses jaringan cepat internet.
Wifi yang merupakan bantuan program Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) ini terpasang di Kecamatan Sikakap pada 11 Agustus 2020 lalu. "Di kecamatan ini ramai orang memanfaatkan bantuan sinyal Wifi itu," tutur pria yang sudah 12 tahun tinggal di Mentawai tersebut.
Ia pun berharap ke depan bantuan jaringan Wifi bisa diperluas dan ditambah, termasuk ke sekolahnya di Darul Ulum. "Ada memang sekolah yang dapat bantuan, tapi kalau di sekolah kami belum,” katanya menambahkan.
Selain persoalan pengajaran, tantangan lain yang dihadapi oleh Yayasan adalah masalah pendanaan. Covid-19 mau tidak mau telah mempengaruhi jumlah donasi yang masuk. "Untuk makan guru, sih, masih tak masalah. Tapi, buat gaji guru yang sangat sulit," kata pria yang juga pernah jadi relawan saat tsunami menerjang Mentawai pada 2010 silam itu.
Ia pun berpikir keras untuk mencari pemasukan tambahan buat Yayasan. Iswandi tak mau sekolah yang dirintisnya dengan susah payah ini tutup lantaran pandemi. "Ya cari sana sini, Alhamdulillah meski sulit guru masih bisa dibayar Rp 250 ribu per bulan," tuturnya.
Yayasan Darul Ulum didirikan pada 2017 silam. Sekolah ditujukan untuk membantu siswa-siswa di kepulauan yang tak mampu. Iswandi tak sendiri mengelola yayasan. Ia dibantu istrinya, Rina, yang juga pengajar di tingkat Madrasah Tsanawiyah Darul Ulum. Saat Republika.co.id berbicara dengan Iswandi pada Rabu sore hari, Rina sedang mengajar mengaji anak-anak setempat.
Menjemput anak sekolah
Di Kabupaten Simeuleu, pulau terluar di Provinsi Aceh, Daud merasakan perjuangan yang tak kalah besar untuk mendidik anak murid di tengah pandemi Covid-19. Pembelajaran terpaksa dilakukan luring (luar jaringan). Faktor utama bukan lantaran persoalan sinyal, tapi lebih karena siswa yang tak punya telepon genggam.
“Sekarang total murid saya ada 89 anak. Namun, hanya delapan orang yang punya handphone Android. Kami sudah konsultasi dengan dinas, dan delapan orang tak bisa mewakili,” ujar kepala sekolah di SMA Negeri 2 Teluk Dalam itu kepada Republika.co.id .
Pembelajaran dilakukan dengan guru mendatangi siswa untuk belajar. Para murid dibuat berkelompok sesuai dengan daerah asal. Selanjutnya, guru juga memberikan tugas pengajaran buat anak.
Misal, setiap Kamis guru mengasih tugas ke siswa, dan pada Sabtu dikumpulkan. Lalu pada Senin tugas baru kembali diberikan, dan Kamis dikumpulkan lagi. “Begitu seterusnya,” ujar Daud yang sebelumnya juga menjadi kepala sekolah di SMA 1 Teupah Selatan selama lima tahun.
Untuk diketahui jarak Teluk Dalam ke ibu Kota Simeulue, Sinabang yakni sekitar 65 kilometer. Sementara jarak Sinabang ke Banda Aceh sekitar 361 kilometer. Akses ke Simeulue bisa ditempuh lewat penerbangan dengan jarak tempuh sekitar satu jam. Simeuleu adalah pulau terluar yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.
Menurut Daud, tantangan terberat sebetulnya bukan ke persoalan teknis seperti sinyal. Karena sinyal telekomunikasi di pulau ini sudah 90 persen lancar. Hanya ada beberapa titik yang memang sinyalnya lemah. Problem terbesar, kata Daud, lebih bagaimana mendorong semangat anak-anak untuk mau belajar.
“Semangat anak-anak ini sangat low,” ujar pria yang berpengalaman di dunia pendidikan sejak 2006 itu.
Ia mengungkapkan, ada sejumlah faktor yang mempengaruhi belajar para siswa, seperti pengaruh dorongan keluarga atau orang tua yang minim. Ada juga yang kecanduan game online. Semua ini, kata ia, menjadi tantangan yang harus dihadapi.
Kendati begitu, Daud mengaku tak putus asa. Setiap selesai shalat Jumat, ia memberikan sesi khusus buat para guru agar dapat memotivasi siswa didiknya. “Dari pengalaman yang saya buat di perguruan tinggi, saya buat tip-tip bagaimana cara mengajar yang bikin anak bergembira, dan mudah menyerap,” tuturnya.
Salah satunya yakni menyampaikan pelajaran tentang rantai kehidupan dengan menggunakan sampah daur ulang. Ia juga mengajarkan bahasa Inggris dengan sisa spanduk bekas. Sisi spanduk yang kosong ia tulis bahan ajar seperti penggunaan kata ‘Do dan Does’. Cara ini ia sampaikan kepada para guru, agar murid bisa mudah menyerap pelajaran.
Selain itu juga mengatasi guru menulis berulang ulang dan menghindari anak berkeliaran. “Bisa membantu kekurangan guru, menghemat waktu untuk menulis, hemat spidol dan papan tulis,” tuturnya.
Daud mengakui, pandemi telah membuat ekonomi lesu. Padahal, tak sedikit siswa yang nyambi bekerja karena membantu keuangan keluarga. Ada yang jadi kernet, bersihkan kebun orang, atau mencari ikan. “Ada juga yang menjadi tulang punggung keluarga karena merupakan anak yatim,” jelas pria yang sudah jalan 10 bulan memimpin sekolah tersebut.
Kondisi itu turut mempengaruhi siswa untuk terlibat dalam pembelajaran di sekolah setiap hari. Karena itu, Daud mengaku tak segan untuk menjemput siswa yang tak datang sekolah jika sudah dua hari lebih absen.
“Saya datangi rumahnya, saya tanya masalahnya apa, kalau karena nggak ada pakaian, kita punya stok di sekolah,” katanya. “Kalau misal ia jadi tulang punggung, biasa saya kasih waktu untuk mencari nafkah.”
Daud yang lahir dan besar di Simeulue mengungkapkan, jumlah guru di SMA Negeri 2 Teluk Dalam hanya 10 orang. Empat di antaranya berstatus pegawai negeri. Sementara jumlah mata pelajaran yang harus diajar yakni 16 orang. “Ya kadang kalau tak ada guru ekonomi, saya yang ajar ekonomi, begitu pula saat guru penjaskes tak ada, saya juga ikut mengajar,” tuturnya.
Sekarang, jelas Daud, pembelajaran di SMA Negeri 2 Teluk Dalam sudah dilaksanakan lagi di sekolah. Dinas Pendidikan di Provinsi Aceh telah memperingatkan agar semua sekolah tetap menjalankan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran virus Covid-19. Pihak sekolah, kata Daud, telah membagikan masker ke para siswa untuk mengikuti protokol yang dianjurkan oleh pemerintah.
Daud pun meyakinkan tidak akan bosan berhenti mengajar di Simeulue, meski ada sejumlah guru dari luar yang kerap mengajukan mutasi atau pindah sekolah ke perkotaan.
Penuh dedikasi
Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), Dudung Nurullah Koswara, mengaku tak kuasa menahan haru saat berkunjung ke daerah terpencil di Maluku Barat Daya. Ia naik pesawat perintis berjam-jam lamanya, dan ketika sampai di bandara masih harus menempuh jalur darat empat jam lamanya.
“Saya waktu itu ingin berikan pelatihan, tapi saya bilang, sepertinya saya tak pantas, saya yang harus belajar ke mereka,” ujarnya kepada Republika.co.id.
Menurut Dudung, para guru di daerah 3T (terpencil, terluar, dan tertinggal) sudah terbiasa dengan keterbatasan. Namun karena mereka punya dedikasi cukup tinggi, hal tersebut membuat mereka berpikir kreatif. “Mereka mendidik dengan natural,” ujarnya.
Berdasarkan pantauan dari PGRI, kendala yang dihadapi guru di 3T biasanya terkait dengan infrastruktur. Dari mulai keterbatasan listrik, sinyal telekomunikasi, maupun sarana dan pra sarana sekolah. “Masalah infrastruktur ini juga yang menjadi kendala guru di 3T,” ujarnya.
Ada sejumlah strategi yang dilakukan guru di daerah tersebut saat masa pandemi ini. Pertama guru tersebut keliling dan langsung menjemput bola ke siswa. Kedua, ada juga dari mereka yang mengirim tugas menitip ke petugas RT atau perwakilan lain. “Saya meyakini daerah terpencil bisa menyesuaikan diri,” ujarnya.
Hal terpenting, kata ia, adalah bagaimana memberikan pembekalan kepada mereka untuk meningkatkan kualitas. Dengan begitu, pembelajaran di daerah 3T menjadi tak tertinggal. “Ini juga yang kami lakukan di PGRI bersama Ikastara dengan memberikan pembimbingan di lima titik daerah terpencil,” ujarnya.
Perkuat sinyal
Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kemenkominfo, Anang Latif, menyadari beberapa waktu lalu banyak kisah sedih dari keterbatasan sinyal yang mempersulit pembelajaran jarak jauh. Khususnya, kata ia, berada di wilayah 3T yang belum mendapatkan keadilan mendapatkan fasilitas seperti di perkotaan.
“Pak Menkominfo pun sudah menyampaikan persoalan ini ke presiden dan diperlukan penyelesaian, khususnya dari infrastruktur digital dalam dua tahun,” ujarnya dalam diskus webinar yang digelar Ikatan Auditor Teknologi Indonesia (IATI) beberapa waktu lalu.
Selama ini pemerintah telah secara serius membangun jaringan telekomunikasi di wilayah 3T. Pembangunan jaringan tulang punggung (Palapa Ring), pembangunan Based Transceiver Station (BTS), pemberian bantuan Wifi, hingga pengerjaan Satelit Satria adalah bukti komitmen pemerintah dalam hal ini Kementerian Kominfo untuk menyelesaikan target Indonesia Merdeka Sinyal.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johny G Plate menegaskan, pembangunan infrastruktur internet atau ketersediaan layanan 4G menjadi program utama Kemenkominfo. Ia mengakui hingga saat ini ada 12.548 desa dan kelurahan serta 150 ribu layanan publik belum terjangkau internet, khususnya di wilayah 3T. Pemerintah menargetkan internet berbasis 4G akan tersedia di seluruh wilayah Indonesia pada akhir 2022 mendatang.
Harapannya, dengan semua pembangunan ini disparitas internet antarwilayah semakin kecil, dan pertumbuhan ekonomi kian merata. Akses pendidikan juga semakin baik menyentuh segala lini di tengah masyarakat.
Di masa pandemi, kata Johny, BLU Bakti Kominfo telah menghadirkan 7.634 akses internet gratis di berbagai pelosok negeri. Hal ini sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk melakukan percepatan transformasi digital.
Bakti Kominfo juga mempunyai program Indonesia Teaching Fellowship (ITF) yang memberikan pelatihan terhadap guru-guru di daerah 3T bekerja sama dengan Ruang Guru. Pelatihan diberikan dari mulai September 2019 hingga 2020 lalu.
Sementara itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim memberi ruang bagi daerah di zona hijau dan kuning untuk pembelajaran langsung dengan tatap muka. Ia mengakui daerah zona tersebut banyak sekali yang tak dapat akses internet dengan baik. Mereka berada di daerah tertinggal dan terluar.
Karena itu, lewat kemudahan ini, pemerintah berharap proses pengajaran bisa kembali berjalan normal dengan tetap mengikuti protokol kesehatan yakni menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan. Pemerintah pun memberikan bantuan kuota internet bagi peserta didik maupun pendidik.
Koordinasi antara intansi pemerintah dan daerah juga terus dilakukan sehingga para guru di daerah 3T seperti Daud dan Iswandi termudahkan dalam memberikan pembelajaran kepada peserta didik.