REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Berangkat dari diktum bahwa tidak ada paksaan dalam beragama, Nabi Muhammad melakukan dakwahnya pun dengan cara damai. Sebab Alquran menguatkan adanya eksistensi keragaman suku, agama, bahasa, hingga sejarah.
Cendikiawan Muslim dan Tokoh Muhammadiyah, Buya Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya berjudul Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan menjelaskan, dalam sebuah masyarakat yang belum dewasa secara psiko-emosional, perbedaan terlalu sering dianggap sebagai permusuhan.
Padahal kekuatan yang pernah dilahirkan peradaban-peradaban besar justru didorong oleh perbedaan pandangan dalam melihat sesuatu. Gesekan pendapat jika didialogkan secara dewasa akan melahirkan rumusan pandangan yang lebih kuat dan komprehensif.
“Orang tidak boleh merasa selalu berada di pihak yang paling benar, sebelum pendapatnya itu diuji melalui dialog yang sehat dalam suasana toleransi dan terbuka,” kata Buya dalam bukunya.
Sementara itu dalam Shahih Bukhari terdapat sebuah hadis berbunyi: “Ahabbu ad-din ila Allah al-hanifiyyah as-samhah,”. Yang artinya: “Agama yang paling dicintai Allah adalah ajaran yang lurus-toleran,”. Ajaran toleransi dan cinta kasih boleh dikatakan lahir dari rahim Islam dengan bukti dalil-dalil toleransi yang berserakkan dalam Alquran dan hadis.
Jika merujuk pada ajaran inti, maka umat Islam yang memahami apa itu agamanya akan berlaku adil, toleran, dan juga menghindari hal-hal nista. Maka sematan sebagai agama yang krisis tentunya tidak relevan jika dikaitkan dengan agama Islam, berbeda mungkin apabila disandingkan dengan segelintir kecil umat Muslim yang berlaku nista. Itu pun bisa jadi hanya mencatut nama Islam apabila dikonotasikan sebagai teroris.
Intelektual Islam Zuhairi Misrawi dalam bukunya berjudul Alquran Kitab Toleransi menjelaskan, Alquran sebagai sumber ajaran Islam merupakan definisi nyata dari apa itu toleransi. Bahkan secara tegas dia menyebutkan bahwa Alquran jauh lebih toleran dari sebagian umat Islam itu sendiri.
Slogan kembali kepada Alquran dan hadis sejatinya memang slogan yang mulia. Namun sloganisasi dan ideologisasi bukanlah cara terbaik untuk mengungkapkan mutiara Alquran. Langkah terbaik tentu saja dengan melakukan pembacaan yang arif, terbuka, dan kontekstual.
Sebab dengan cara itu, harapan mewujudkan toleransi di muka bumi bukanlah sebuah impian. Toleransi adalah teks sekaligus realitas yang perlu disemai oleh seluruh umat beragama. Nabi Muhammad SAW sendiri merupakan contoh konkret bagaimana menjalankan toleransi yang baik dan benar.
Dalam sirah-sirah Nabawiyah kerap disebutkan bagaimana relasi Rasulullah terhadap non-Muslim. Baik itu di sektor ekonomi, utang-piutang, politik, hingga adab dan akhlak bertetangga. Tentunya masih banyak contoh-contoh lain yang Nabi telah tunjukkan sebagai teladan bagi umatnya.
Meski demikian, masyarakat dunia dengan apapun latar belakang agamanya—atau bahkan tidak beragama sama sekali—tak sepatutnya menghina agama orang lain. Allah bahkan mengingatkan bahwa lakum dinukum waliyadin (bagimu agamamu, bagiku agamaku). Syariat agamamu dipersilakan, syariat agamaku pun jangan kau usik.
Bagi umat Islam, Nabi Muhammad adalah sosok yang mulia. Jangankan penghinaan terhadapnya, meragukannya saja sudah bagian dari hal yang dilarang. Apabila umat beragama lain tidak mengetahui betapa sakralnya Nabi Muhammad bagi umat Islam, mengapa tidak kita (umat Islam) sendiri yang memberitahukannya?
Caranya adalah dengan tidak korupsi, tidak merusak alam, tidak acuh terhadap kesulitan orang lain, berpikir progresif, dan juga merangkul komunitas Muslim maupun non-Muslim yang memiliki perbedaan kapasitas dalam memahami ajaran agama. Toh Nabi pun demikian, bersabar, taktis, dan penuh rahmah dalam menjalankan dakwahnya.