REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING — Seorang ilmuwan asal China mengatakan bahwa pandemi yang lebih buruk mungkin akan terjadi. Peringatan itu cukup mengkhawatirkan mengingat dunia saat ini sedang menghadapi wabah Covid-19 yang telah berlangsung selama satu tahun.
Menurut Shi Zhengli, ilmuwan yang dijuluki sebagai ‘bat woman’ (perempuan kelelawar), wabah yang terjadi saat ini hanyalah puncak dari gunung es. Dalam laporan terkait infeksi virus corona tipe baru (SARS-CoV-2) yang pertama kali muncul pada akhir Desember 2019, kasus penyakit pertama terjadi pada seorang pria berusia 55 tahun yang mulai menunjukkan gejala pada 17 November.
Kasus penyakit tersebut terus muncul selama beberapa pekan setelahnya, hingga pada 8 Desember 2019 Pemerintah China memberi tahu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang infeksi tersebut. Lebih dari 55 juta kasus Covid-19 sekarang telah dilaporkan di seluruh dunia, dengan lebih dari 1,3 juta orang meninggal.
Wabah tersebut pertama kali dilacak ke pasar hewan liar di Wuhan, Provinsi Hubei, China. Shi menjadi salah satu ilmuwan pertama di dunia yang mempelajari Covid-19. Pada Mei, peneliti di Institut Virologi Wuhan itu mengungkapkan bahwa virus baru yang berpotensi lebih buruk ditemukan, walaupun saat ini dunia masih berjuang memerangi pandemi yang terjadi.
“Jika kita ingin mencegah manusia dari wabah penyakit menular berikutnya, kita harus belajar terlebih dahulu tentang virus tak dikenal yang dibawa oleh hewan liar di alam dan memberikan peringatan dini Jika tidak, maka kemungkinan akan ada wabah lainnya,” ujar Shi kepada stasiun televisi CHTN, seperti dilansir The Sun, Rabu (18/11).
Pada Oktober, WHO juga memperingatkan bahwa Covid-19 tidak akan menjadi pandemi atau kondisi darurat kesehatan terakhir di dunia. Karena itu, badan tersebut meminta negara-negara di seluruh dunia bekerja sama dalam pendekatan berkelanjutan untuk mempersiapkan kesiapsiagaan darurat kesehatan serta memutus siklus pandemi.
Pada Mei, Shi juga mendesak negara-negara di seluruh dunia untuk segera meningkatkan penelitian terhadap penyakit zoonosis yang ditularkan dari hewan ke manusia dan bersifat mematikan. Ia mengatakan, akan sangat disesalkan jika sains atau ilmu pengetahuan dipolitisasi.
Shi menyerukan agar kerja sama internasional dengan skala lebih besar dilakukan dalam perang melawan epidemi. Shi dilaporkan dipanggil kembali ke labnya pada Desember 2019 setelah timnya mengidentifikasi SARS-CoV-2 yang terkait dengan kelelawar tapal kuda.
Satwa liar itu biasanya ditemukan lebih dari 1.000 mil jauhnya di Yunnan, sebuah wilayah di selatan China. Gao Yu, seorang jurnalis, mengatakan bahwa institut tempat Shi melakukan penelitian telah menyelesaikan pengurutan gen dan tes terkait.
Saat itu, Shi menuturkan pada awalnya mendapat peringatan agar tidak mengungkapkan temuannya kepada siapa pun. Sejak dimulainya pandemi Covid-19, Pemerintah China telah menghadapi tuduhan upaya menutupi wabah.
Bahkan, dokter yang mencoba meningkatkan kewaspadaan terkait wabah SARS-Cov-2 dan menggunakan media sosial untuk melakukannya, dilaporkan telah ditahan dan dituduh mencoba menimbulkan kepanikan. Demikian juga dengan jurnalis yang mencoba meliput masalah tersebut.
Shi kemudian mengakui bahwa pada awalnya khawatir bahwa virus itu bisa bocor secara tidak sengaja dari laboratoriumnya. Namun, Shi kemudian mengeklaim merasa sangat lega ketika ditetapkan bahwa urutan genetik Covid-19 tidak cocok dengan yang dipelajari sebelumnya.
Meski demikian, Shi terus dirundung sejumlah rumor dan teori konspirasi. Pada satu titik, Shi bahkan harus membantah adanya laporan bahwa dirinya telah mencoba membelot dengan dokumen rahasia dari pusat sains Wuhan.
Sebuah tim peneliti terkemuka juga mengatakan sebelumnya bahwa mereka yang menyelidiki asal muasal wabah harus menyelidiki kemungkinan adanya kebocoran dari pusat sains di Wuhan.
Asal usul SARS-CoV-2
Nikolai Petrovsky, seorang profesor yang memimpin tim peneliti di Australia, mengatakan bahwa SARS-CoV-2 tidak tampak seperti khas infeksi normal dari hewan ke manusia. Salah satu alasannya adalah karena virus ini memiliki kemampuan luar biasa untuk segera memasuki tubuh manusia.
Petrovsky mengatakan, ada kemungkinan kecil bahwa virus bisa lolos dari laboratorium pengujian. Ia menyebut, hal ini tetap tidak dapat dikesampingkan. Ia juga mengungkapkan itu virus itu diketahui paling dekat hubungannya dipelajari di laboratorium di Wuhan.
"Implikasinya mungkin tidak baik bagi ilmuwan atau politik global, tetapi hanya karena jawabannya dapat menimbulkan masalah, kita tidak bisa lari darinya," jelas Petrovsky.
Meski saat ini tidak ada bukti kebocoran, tetapi cukup data tidak langsung untuk mengkhawatirkan hal itu. Petrovsky mengatakan, laboratorium tidak boleh mengabaikan pencarian yang sedang berlangsung mengenai asal-usul wabah.
"Ini adalah kebetulan yang luar biasa atau tanda campur tangan manusia. Ada kemungkinan virus itu muncul secara kebetulan dan ternyata manusia adalah inang yang sempurna,” kata Petrovsky.
Media The Sun sebelumnya pernah mengungkapkan bahwa laboratorium Wuhan tampaknya berbohong tentang tindakan pencegahan keamanan saat mengumpulkan sampel kelelawar. Pejabat intelijen Amerika Serikat (AS) dan Inggris juga dilaporkan mencurigai para ilmuwan di institut Wuhan bertindak ceroboh, sehingga secara tidak sengaja menyebarkan penyakit mematikan selama melakukan tes virus corona yang berisiko pada kelelawar.
Diklaim bahwa Covid-19 dikembangkan di Wuhan karena pada awalnya China memiliki ekspektasi untuk dapat membuktikan bahwa negaranya lebih hebat dibandingkan AS dalam memerangi penyakit mematikan. Kepala laboratorium Wuhan, Wang Yanyi mengatakan bahwa klaim seperti itu sepenuhnya palsu.
Yanyi mengatakan bahwa institut sains tersebut tidak memiliki pengetahuan, serta tidak pernah meneliti, ataupun menyimpan virus. Ia menegaskan bahwa laboratorium itu tidak tahu virus itu ada, sehingga tak mungkin dapat bocor.
Sebagian besar ilmuwan mengatakan virus corona jenis baru ditularkan dari kelelawar ke manusia melalui spesies hewan perantara yang kemungkinan dijual di pasar Wuhan pada akhir tahun lalu. Komunitas ilmiah sebagian besar menolak gagasan bahwa virus itu mungkin merupakan hasil rekayasa laboratorium.
Sementara itu, National Cancer Institute (INT) Kota Milan, Italia mengumumkan temuan yang memperlihatkan bahwa Covid-19 mungkin telah menyebar keluar China lebih awal dari yang diperkirakan sebelumnya. Italia disebut telah memiliki kasus Covid-19 sejak September 2019, lebih awal dari terungkapnya kasus pertama di Wuhan, yakni pada 17 November 2019.