REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tepat setahun sudah SARS-CoV-2 yang menyebabkan Covid-19 diketahui muncul di China. Penyakit yang ditimbulkan virus corona tipe baru tersebut pertama kali terdiagnosis pada 17, November 2019.
The South China Morning Post dalam sebuah feature yang diterbitkan pada bulan Maret mengutip data pemerintah tentang infeksi SARS-CoV-2 pertama yang terjadi sejak 17 November 2019. Warga berusia 55 tahun dari Wuhan, Provinsi Hubei kemungkinan adalah orang pertama yang terinfeksi virus ini.
Awalnya, penyakit misterius itu dinamai pneumonia Wuhan. Belakangan, penyakit yang kemudian diberi nama Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) oleh WHO itu diketahui tidak hanya menyebabkan sakit pada saluran pernapasan dan bisa memiliki beragam manifestasi klinis, mulai dari masalah pencernaan hingga gangguan neurologis.
Sementara itu, hasil studi baru menyebutkan bahwa virus itu kemungkinan sudah ada di Italia pada awal September 2019. Jenis galur virusnya berbeda dengan yang ditemukan di Wuhan.
Sejak virus mematikan ini pertama kali mendapat perhatian internasional, lebih dari 55,2 juta infeksi telah terjadi di seluruh dunia, dengan lebih dari 1,3 juta kematian, menurut data dari Universitas Johns Hopkins.
AS telah melaporkan lebih banyak infeksi dan kematian virus corona daripada negara lain mana pun di dunia, melampaui 11,2 juta kasus dan lebih dari 247.200 nyawa hilang.
Akan tetapi, satu tahun kemudian, masih ada harapan. Selama dua pekan terakhir, perusahaan obat Pfizer mengumumkan kandidat vaksin yang efikasinya lebih dari 90 persen, sedangkan Moderna diklaim efektif 94,5 persen, menurut analisis sementara.
Menurut dokumentasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), terakhir diperbarui pada 12 November, ada 48 kandidat vaksin dalam evaluasi klinis dan lebih dari 160 pada fase evaluasi awal.
Selain kemungkinan vaksin, obat Cobid-19 juga mencatat kemajuan. Remdesivir dari Gilead Sciences menjadi obat resmi pertama yang disetujui Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA), dan plasma pemulihan diberikan izin penggunaan darurat (EUA) dari FDA untuk mengatasi infeksi virus corona.
Perawatan pasien juga telah berkembang, dengan laporan sebelumnya yang menyuarakan keraguan petugas kesehatan untuk menggunakan ventilator karena khawatir hal itu dapat memperburuk kondisi pasien. Belum lagi proses coba-coba dengan obat yang diberikan, termasuk hidroklorokuin dan kombinasi obat HIV lopinavir-ritonavir, yang keduanya dikeluarkan dari penelitian besar WHO pada musim panas.
Hanya saja, kemajuan ini datang dengan latar belakang meningkatnya kasus baik di Amerika Serikat maupun di seluruh dunia. Rata-rata pergerakan tujuh hari dari kasus baru harian di AS mencapai 160 ribu, yang telah meningkat tajam sejak awal Oktober, menurut data yang dikumpulkan oleh Universitas Johns Hopkins.
Italia juga mengalami peningkatan tajam dengan lebih dari 35.400 kasus harian baru, per rata-rata pergerakan tujuh hari. Lalu, Inggris bergabung dengan lebih dari 25 ribu infeksi harian baru.
Demikian juga, Brasil juga sedang menanjak dengan kasus hariannya melebihi 23 ribu dan Rusia mengalami peningkatan yang jelas dengan lebih dari 22 ribu infeksi harian. Semuanya per rata-rata pergerakan tujuh hari.
Saat Moderna dan Pfizer terus mengumpulkan data keamanan yang dibutuhkan selama dua bulan untuk mendapatkan persetujuan darurat dari FDA, lonjakan infeksi akibat ketidakpatuhan publik membebani rumah sakit di seluruh negeri dan membuat staf tertekan. Sampai vaksin yang aman dan efektif disetujui, pejabat kesehatan dengan tegas mengimbau masyarakat untuk memakai masker, menjaga jarak fisik, menjaga kebersihan tangan, dan menghindari keramaian jika memungkinkan.