REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Para arkeolog telah menemukan artefak kuno dari lapisan es yang mencair di Norwegia. Salah satunya adalah panah yang digunakan untuk berburu rusa kutub lebih dari 6.000 tahun yang lalu.
Tim arkeolog menemukan 68 anak panah di petak es Langfonne di Pegunungan Jotunheimen. Artefak itu membawa ke berbagai periode waktu selama ribuan tahun, dari Zaman Batu hingga Zaman Pertengahan.
Penemuan yang diterbitkan minggu ini sebagai studi di jurnal The Holocene, juga termasuk sisa-sisa tanduk rusa, tongkat penakut Zaman Besi yang digunakan dalam berburu rusa. Selain itu ada pula sepatu berusia 3.300 tahun dari Zaman Perunggu.
Anak panah menandai penemuan es paling awal di Eropa Utara, menurut penulis penelitian, dilansir di CNN, Jumat (27/11). Pegunungan Jotunheimen Norwegia terletak lebih dari 200 mil (lebih dari 320 kilometer) di utara ibu kota, Oslo.
Studi itu mencatat, petak es Langfonne, tempat panah ditemukan, telah menyusut lebih dari 70 persen selama dua dekade terakhir. Pemanasan global telah menyebabkan pencairan es yang dramatis.
"Dengan es yang sekarang menyusut karena perubahan iklim, bukti perburuan kuno di Langfonne muncul kembali dari apa yang pada dasarnya adalah arsip beku," kata Lars Pilø, penulis utama studi dan arkeolog dari Dewan County Innlandet.
"Pencairan es, yang menyedihkan, memberikan kesempatan arkeologis yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk pengetahuan baru," kata dia.
Anak panah tertua, yang berasal dari 4000 SM, berada dalam kondisi yang buruk. Namun yang mengejutkan, panah dari periode Neolitik Akhir (2400-1750 SM) lebih baik dipertahankan dibandingkan dengan panah dari 2.000 tahun berikutnya.
Menggunakan teknologi ground penetrating radar (GPR), para peneliti percaya bahwa keadaan buruk panah tertua mungkin disebabkan oleh pergerakan es.
Data GPR mengungkapkan deformasi es jauh di dalam tambalan mungkin telah mematahkan panah tua yang rapuh, tetapi juga membantu membawa mereka ke permukaan untuk ditemukan.
"Petak es bukan situs arkeologi biasa Anda. Arkeologi glasial memiliki potensi untuk mengubah pemahaman kita tentang aktivitas manusia di pegunungan tinggi dan sekitarnya."kata Pilø.