REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Sejak meletusnya pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 1958, yang kemudian disusul dengan keluarnya Diktrit Presiden 1959, nasib para pemimpin Partai Masyumi semakin terjepit dan setiap hari selalu was-was didatangi alat-alat negara untuk dimasukkan ke dalam penjara.
Suasana seperti itu juga terasa sekali meliputi keluarga Buya Hamka. Apalagi, PKI melalui koran-korannya, Harian Rakyat dan Bintang Timur, dan juga koran PNI “Seluruh Indonesia” tak henti-hentinya meneror Partai Masyumi dan para pendukungnya.
Dikutip dari Pribadi dan Martabat Buya Hamka karya H Rusydi Hamka, pada 17 Agustus 1960, Presiden Soekarno kemudian menyampaikan pidatonya yang berjudul “Laksana Malaikat Turun dari LAngit, Jalannya Revolusi Kita”. Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang dibentuk Soekarno sendiri kelak menamakan pidato itu sebagai “Manifesto Politik” atau Manipol.
Kemudian, setelah diperas dan dibahas lebih kencang lagi bernamalah USDEK, yaitu singkatan dari (kembali ke) Undang-Undang Dasar 19945, sosialis, Demokrasi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia. Di zaman Manipol Usdek inilah Majalah Panji Masyarakat dilarang, sebuah majalah yang dipimpin Buya Hamka. Sedangkan penulis buku ini, Rusydi Hamka menjadi sekretaris redaksinya.
Selain Majalah Panji Mas, beberapa majalah lainnya juga dilarang terbit. Sedangkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI), menurut Rusydi Hamka, saat itu dinyatakan sebagai partai terlarang karena tersangkut pemberontakan PRRI.
Setelah itu, Manipol Usdek terus diindoktrinisasi kepada rakyat melalui juru bicaranya yang terkenal, Ruslan Abdulgani. Dia dikenal dengan sebutan Djubir Usman (Djuru Bicara Usdek Manipol). Pemimpin-pemimpin partai yang dianggap sebagai pendukung konsepsi Soekarno juga turut mengadakan indoktrinisasi kepada rakyat.
Menurut Rusydi Hamka, DN. Aidit, gembong nomor satu PKI dan segenap pendukung soekarno juga diperkenankan menjadi “Djubir Usman”. Di mana-mana mereka berpidato dengan menjadikan Masyumi sebagai bulan-bulannya.
Dalam keadaan seperti itu, para pemimpin Masyumi tidak bisa lagi mengeluarkan suaranya. Ketua Umum Masyumi waktu itu, Prawoto Mangkusasmito pernah menuntut Presiden Soekarno ke pengadilan karena dianggap telah melanggar undang-undang. Namun, Soekarno tak pernah menghiraukannya, justru Prawoto yang ditahan tanpa pernah diadili.
Buya Hamka sendiri beruntung di depan rumahnya berdiri sebuah masjid yang mulai banyak dikunjungi umat Islam, yaitu Masjid Agung Al-Azhar di Jakarta Selatan. Menurut Rusydi Hamka, masjid itulah yang menjadi tempat hijrah dari keributan-keributan politik yang diciptakan komunis itu.
Secara berangsur-angsur Buya Hamka kemudian mengumpulkan jamaah yang sebagian besar terdiri dari tukang-tukang becak dan kuli bangunan masjid itu sendiri.
Seiring berjalannya waktu, jamaah masjid itu pun semakin bertambah, terutama karena mereka mendengar bahwa di masjid itu Buya Hamka mengadakan pengajian tafsir yang menyejukkan hati.
“Kita mulai perjuangan dari masjid, selama ini kita lalai memperhatikan masjid karena terlalu sibuk di parlemen,” ujar Buya Hamka kepada kawan-kawan yang menjadi pengikuti jamaah itu.
Di antara beberapa orang terkemuka yang menaruh perhatian pada Buya Hamka saat itu adalah Jenderal Sudirman, Komandan Seskoad Bandung dan Kolonel Muchlas rowi Kepada Pusroh Islam Angkatan Darat di Jakarta.
Bahkan, menurut Rusydi Hamka, kedua perwira ABRI tersebut juga datang ke rumah Buya Hamka untuk berbicara tentang situasi negara dan nasib umat Islam di bawah rezim yang pada waktu itu telah sangat dipengaruhi komunis.
Dalam salah satu kesempatan, penulis buku ini juga sempat mendengar secara langsung pembicaraan antara Buya Hamka dan Jenderal Sudirman, yang membawa pesan dari Jenderal Nasution untuk mengajak Buya Hamka menerbitkan majalah kembali.
“Kita harus bekerja sama, yah saling menunggangi untuk menyelamatkan bangsa dari bahaya komunis,” kata Pak Dirman. Setelah menjalankan permainan di balik layar itu, akhirnya Majalah Gema Islam terbit untuk pertama kali pada 15 Januari 1962.
Permainan di balik layar itu diceritakan dengan cukup rinci oleh Rusydi Hamka. Karena itu, buku ini dapat menjadi salah satu referensi bagi masyarakat yang ingin mengetahui situasi politik saat itu berikut kiprah dari Buya Hamka.
Sebagai pusat kegiatan dakwah dan penerbitan Majalah Gema Islam, Masjid Agung Al-Azhar akhirnya mulai diintip oleh intel-intel Orde Lama. Melalui koran komunis disiarkan juga berita bahwa di masjid itu sedang tumbuh “Neo Masyumi” pimpinan Hamka. Tidak hanya itu, karya Buya Hamka yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck juga dituduh sebagai plagiat sastra.