REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Bantaeng merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan. Wilayah seluas 395,83 kilometer (km) persegi itu berbatasan Laut Flores di selatan dan Kabupaten Jeneponto, Bulukumba, serta Gowa di barat sampai utara. Dari ibu kota provinsi, Makassar, jaraknya kira-kira 123 km.
Sejarah mencatat, hingga abad ke-18 daerah ini lebih dikenal sebagai Bhontain atau Bantayang. Kata bantayang bermakna 'tempat pembantaian hewan ternak.'
Pada zaman dahulu, para tetua setempat sering menggelar prosesi penyembelihan sapi atau kerbau untuk menyambut para utusan Majapahit. Imperium besar itu pada abad ke-14 memperluas kekuasaannya hingga Nusantara bagian timur, termasuk pesisir Sulawesi Selatan.
Nama Bantaeng terus melekat pada daerah tersebut sejak Indonesia merdeka hingga saat ini. Menurut tradisi masyarakat setempat, Bantaeng juga berjulukan butta toa. Artinya, 'tanah tua' atau 'tanah para leluhur.'
Buya Hamka dalam Sejarah Umat Islam mengatakan, para saudagar Muslim telah berinteraksi dengan masyarakat lokal setidaknya sejak abad ke-16. Hal itu bila merujuk pada catatan pengelana Portugis yang tiba di Sulawesi Selatan pada 1540. Bagaimanapun, proses islamisasi penduduk setempat mulai berlangsung intens sejak agama ini dipeluk kalangan istana kerajaan.
Menurut La Sakka dalam Historiografi Islam di Kerajaan Bantaeng (2014), permulaan dakwah Islam di Bantaeng tak lepas dari peranan Kerajaan Gowa. Raja ke-14 Gowa, I Manngarangi atau I Daeng Manraqbia, menjadi penguasa perta ma yang memeluk Islam.
Ia dibimbing mengucapkan dua kalimat syahadat oleh Datuk Ri Bandang, seorang mubaligh asal Minangkabau pada 1605. Setelah menjadi Muslim, namanya berubah menjadi Sultan Ala'uddin. Sang sultan pun menyerukan seluruh rakyatnya dan negeri-negeri tetangga agar menerima Islam.
Selain itu, ada pula figur lain yang berperan penting dalam syiar agama tauhid di Bantaeng. Dialah Raja La Tenri Ruwa. Dosen Arkeologi Universitas Hasanuddin (Unhas) Yadi Mulyadi mengatakan, sosok ini bernama lengkap La Tenri Ruwa Arung Palakka Matinroeri Bantaeng.
“Ketokohan La Tenri Ruwa adalah ia merupakan Raja Bone yang pertama masuk Islam,” ujar Yadi dalam diskusi virtual yang digelar baru-baru ini. Mubaligh yang mengislamkan raja Bone ke-11 itu adalah Syekh Nurun Baharuddin Tajul Nasabandiyah. Sejak memeluk Islam, namanya menjadi Sultan Adam.
Akan tetapi, lanjut Yadi, kala itu para pemuka adat dan kalangan istana masih berat menerima Islam. Alhasil, La Tenri Ruwa tersingkir. Ia lantas hijrah ke Bantaeng sehingga menggiatkan dakwah Islam di daerah tersebut.
Masyarakat setempat menggelarinya Matinroeri Bantaeng. Pada saat La Tenri Ruwa memeluk Islam, dewan adat Kerajaan Bone belum bisa menerima Islam. “Jadilah ia diturunkan dari tampuk raja. Hanya tiga bulan ia menjabat sebagai raja di sana,” tutur Yadi.