REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian (Kementan), Nasrullah, meminta kepada para perusahaan pembibit unggas maupun asosiasi peternak untuk memberikan data secara transparan kepada pemerintah. Hal itu guna menentukan kebijakan perunggasan yang tepat dalam mengatasi persoalan jatuhnya harga dalam dua tahun terakhir.
"Kami mengimbau baik peternak, korporasi, yang pertama adalah transparansi data. Tolong berikan kami data yang valid," kata Nasrullah dalam sebuah diskusi virtual, Kamis (17/12).
Nasrullah mengatakan, sejauh ini langkah pemangkasan produksi ayam dari bibit khususnya di perusahaan-perusahaan pembibit merupakan upaya terbaik untuk menstabilkan permintaan dan penawaran terhadap unggas. Dampaknya pun telah terlihat dari naiknya harga di tingkat peternak.
Namun, untuk bisa mengkalkulasikan pemangkasan secara tepat, perlu dukungan perusahaan maupun peternak mandiri dalam hal data. Sebab, ketersediaan produksi akan menjadi tolok ukur Kementan dalam menetapkan volume pemangkasan. Terlebih lagi adanya situasi pandemi cukup menekan permintaan dari konsumen.
Nasrullah memaparkan, sejauh ini langkah pemangkasan bibit ayam melalui telur fertil dengan target 201,6 juta butir untuk periode 26 Agustus-31 Desember 2020 telah tercapai 162,5 juta butir atau 80,56 persen.
Selain itu, ada pula upaya tunda setting telur untuk kegiatan CSR tahap II yang justru melampaui target. Dari target 7,5 juta butir periode Agustus-November 2020 tercapai 8,9 juta butir atau 119 persen.
Langkah lainnya yakni afkir ayam indukan reguler usia lebih dari 60 minggu periode Januari-November yang sebanyak 13,9 juta ekor. Terakhir, yakni afkir parent stokc usia lebih dari 50 minggu dari target 5 juta tkor periode 26 Agustus-21 November tercapai 4,26 juta ekor atau 84,8 persen.
"Sekarang hal-hal ini harus dilakukan, namun demikian jika ada ide lain yang fungsinya sama dan berdampak sama, kami akan lakukan dan siap mengubah kebijakan itu," ujarnya.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU), Achmad Dawami, mengamini jatuhnya harga ayam hidup di peternak saat ini akibat terjadi oversuplai ayam nasional. Itu merupakan dampak impor ayam galur murni (grand parent stock/GPS) tahun 2018 lalu yang jumlahnya cukup tinggi.
Langkah pemangkasan produksi saat ini, menurutnya memiliki dua sisi. Baik bagi peternak karena berhasil meningkatkan harga tapi tidak untuk perusahaan pembibit. "Tidak bagus karena kita sudah investasi dua tahun sebelumnya dan itu (pemangkasan) sangat merugikan pembibitan ayam. Sedang puncak produksi, diminta afkir dini," ujarnya.
Oleh karena itu, Dawami meminta agar pemerintah di tahun depan membuat konsep baru yang lebih menguntungkan dua pihak. Termasuk dalam hal importasi ayam galur murni yang akan berdampak dua tahun setelahnya jika dilakukan tanpa kontrol.
"Data perunggasan juga harus akurat supaya bisa perkirakan supply dan demand. Impor GPS ke depan harus memperhatikan keseimbangan," ujarnya.