REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar mengkritik Maklumat Kapolri poin 2D yang berisi tentang pelarangan masyarakat untuk mengakses, mengunggah dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun media sosial. Dia menilai, pelarangan tersebut menjadi sebuah lonceng kematian bagi demokrasi.
"Melarang orang mengakses sebuah info pemberitaan apa saja adalah tindakan otoriter dari sebuah pemerintahan," kata Abdul Fickar Hadjar di Jakarta, Jumat (1/1).
Lebih jauh, dia menilai bahwa pemerintah seharusnya bertindak secara demokratis dengan berdasarkan hukum. Dia mengatakan, sebuah negara demokrasi dan hukum pemerintahan manapun tidak bisa dan tidak berhak membubarkan sebuah organisasi.
Dia menjelaskan, organisasi adalah perwujudan dari HAM dan kebebasan berpikir mengeluarkan pendapat dan berkumpul yang dijamin oleh konstitusi. Artinya, sambung dia, otoritas yang membubarkan organisasi dari masyarakat pemerintahan yang sudah tidak menghargai konstitusinya sendiri.
"Jika alasannya karena banyak melakukan tindakan yang melanggar hukum, maka harus dipisahkan antara organisasi dengan pengurusnya atau orang yang dianggap melanggar hukum. Maka yang harus diproses sebagai konsekuensi negara hukum adalah oknum-oknum yang melanggar hukum itu," katanya.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Idham Azis melarang masyarakat untuk mengakses hingga menyebarluaskan konten terkait Front Pembela Islam (FPI). Hal tersebut mengacu pada penerbitan maklumat bernomor Mak/1/I/2021 tentang Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI.
Maklumat ini diterbitkan merujuk pada Surat Keputusan Bersama Nomor 220-4780 Tahun 2020, Nomor M.HH.14.HH.05.05 Tahun 2020, Nomor 690 Tahun 2020, Nomor 264 Tahun 2020, Nomor KB/3/XII/2020, dan Nomor 320 Tahun 2020 tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut, serta Penghentian Kegiatan FPI.
Klarifikasi
Namun pihak Kepolisian yang dikonfirmasi Republika.co.id, mengatakan kalau poin tersebut tidak dimaksudkan untuk membatasi kebebasan berekspresi. "Yang terpenting bahwa dikeluarkan maklumat ini kita tidak artinya itu membredel berita pers," kata Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Argo Yuwono di Jakarta, Jumat (1/1).