REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andri Saubani*
Banjir besar dengan ketinggian 0,5-2 meter bahkan 4 meter terjadi sejak 10-17 Januari 2021 di 11 dari 13 kabupaten/kota di Kalimantan Selatan (Kalsel), kecuali Kabupaten Tabalong dan Kotabaru. Sebanyak 21 warga menjadi korban meninggal, sementara lebih dari 60 ribu warga Kalsel mengungsi.
Upaya pemulihan pascabanjir kini juga diselingi oleh ‘perang’ narasi penyebab terjadinya banjir. Kalangan pemerintah yang didukung oleh kementerian/lembaga/badan terkait menyoroti fenomena alam, sementara kalangan pro-lingkungan menuding, banjir Kalsel lantaran akumulasi kerusakan ekologis dengan terus terjadinya alih fungsi hutan di sekitar daerah aliran sungai (DAS) Barito.
Saat berkunjung ke Kalsel Senin (18/1) lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut banjir Kalsel sebagai, “Banjir besar yang mungkin sudah lebih dari 50 tahun tidak terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel).” Kata Jokowi, curah hujan yang sangat tinggi hampir 10 hari berturut-turut membuat Sungai Barito yang kapasitasnya 230 juta meter kubik kemasukan 2,1 miliar kubik air.
Senada dengan Jokowi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sehari setelah kunjungan Jokowi ke Kalsel, menjelaskan, penyebab banjir di Kalsel secara umum adalah curah hujan ekstrem. Namun, KLHK juga mengakui, kondisi infrastruktur ekologis Sungai Barito saat ini juga sudah tidak memadai untuk menampung aliran air masuk apalagi jika terjadi situasi curah hujan ekstrem.
Mabes Polri pun sampai ikut-ikutan menambahi narasi penyebab banjir Kalsel adalah karena anomali fenomena alam. Tim dari Bareskrim Polri sempat bertolak ke Kalsel dan dari pengecekan dan permintaan informasi ke pihak terkait, pihak kepolisian menyimpulkan bahwa, penyebab banjir adalah curah hujan ekstrem yang dibarengi oleh gelombang laut tinggi.
BMKG memang kemudian merilis keterangan, bahwa curah hujan ekstrem di Kalsel yang kemudian disusul bencana banjir besar terjadi pada 10 sampai 16 Januari, dengan curah hujan tertinggi terjadi pada 13-14 Januari dalam 24 dengan curah hujan 225 mm di Banjarbaru dan 249 mm. Sebagai ilustrasi, rata-rata curah hujan di Kalsel adalah 330 mm dalam satu bulan. Artinya, curah hujan yang biasa terjadi dalam sebulan, pada pekan kedua Januari lalu turun sekaligus di Kalsel dalam tempo dua hari saja.
Namun, selain curah hujan ekstrem, BMKG juga menyoroti kapasitas daya dukung lingkungan yang tidak memadai juga menjadi penyebab banjir. Lahan di sekitar DAS Barito yang rusak, menurut Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, juga ikut andil mengapa banjir terjadi begitu dahsyat.
Menurut data KLHK, DAS Barito adalah DAS lintas provinsi dengan total 6,2 juta hektare. Khusus yang melintasi Provinsi Kalsel luasnya 1,8 juta hektare.
Dari luas itu, proporsi luas area berhutan DAS Barito di Kalsel hanya 18,2 persen, terdiri dari hutan alam 15 persen dan 3,2 persen hutan tanaman. Sedangkan, sisanya seluas 81,8 persen merupakan proporsi luas area tidak berhutan. Area lahan tidak berhutan didominasi pertanian lahan kering campur semak 21,4 persen, sawah 17,8 persen, serta perkebunan seperti sawit dan lainnya 13 persen.
Menurut KLHK, sejak 1990 sampai 2019, terjadi penurunan luas hutan alam yang luasnya hanya 15 persen dari total luas DAS Barito, sebesar 62,8 persen. Periode terbesar penyusutan luas lahan hutan alam DAS Barito di Kalsel, menurut KLHK terjadi antara 1990 sampai 2000 sebesar 55,5 persen.
Menurut pihak KLHK, terjadinya pengurangan luas hutan juga terjadi karena 2,7 juta dari 3,6 juta penduduk Kalsel tinggal di sekitar DAS Barito. Dengan demikian, kegiatan pertanian, perkebunan karet, perkebunan sawit sangat masif di wilayah DAS Barito.
Namun, KLHK menyebut, tidak ada pelanggaran yang serius dari pemegang izin usaha pemanfaatan hutan alam, hutan tanaman, maupun izin penggunaan kawasan hutan. Selain itu, kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) di DAS Barito sejak 2010-2019 juga telah dilaksanakan, yakni seluas 10.155 hektare.
Berbeda dengan KLHK soal periodesasi penyusutan luas area hutan di Kalsel, menurut Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) selama 10 tahun terakhir terjadi penyusutan luas hutan primer, hutan sekunder, sawah, dan semak belukar masing-masing 13 ribu hektare (ha), 116 ribu ha, 146 ribu ha, dan 47 ribu ha. Perubahan penutup lahan dalam 10 tahun ini, menurut Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Lapan, M Rokhis Khomaruddin, dapat memberikan gambaran akan kemungkinan penyebab terjadinya banjir di DAS Barito.
Adapun, lembaga swadaya masyarakat seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Greenpeace menilai, rusaknya ekosistem menjadi penyebab banjir Kalsel. Mereka meminta pemerintah tidak hanya menjadikan curah hujan ekstrem sebagai kambing hitam penyebab banjir.
Menurut data Walhi, telah terjadi alih fungsi lahan menjadi pertambangan dan perkebunan di Kalsel yang tidak disertai analisis dampak lingkungan (Amdal). Catatan Walhi Kalsel, saat ini terdapat 814 lubang milik 157 perusahaan tambang batubara, di mana sebagian lubang tersebut masih berstatus aktif, sebagian lagi ditinggalkan tanpa reklamasi.
Direktur Walhi Kalsel Kisworo Dwi Cahyono mengatakan, pihaknya sudah berkali-kali mengingatkan bahwa Kalsel berada dalam kondisi darurat ruang dan darurat bencana ekologis. Dengan total luas area 3,7 juta hektare dari keseluruhan 13 kabupaten/kota di Kalsel, menurut catatan Walhi Kalsel, 50 persennya sudah dibebani izin tambang dan perkebunan kelapa sawit.
Tata kelola lingkungan dan sumber daya alam (SDA) di Kalsel sudah cukup rusak dengan daya tampung dan daya dukung lingkungan yang tidak memadai. Syahdan, ketika datang musim penghujan dengan curah yang ekstrem, banjir besar pun menjadi keniscayaan.
"Pemerintah lagi-lagi tidak siap. Akhirnya rakyat lagi yang menanggung akibatnya," kata Kisworo.
*penulis adalah jurnalis Republika.