Senin 25 Jan 2021 06:54 WIB

Perang Narasi Lantaran Banjir Besar di Kalimantan

Ada dua faktor penyebab utama banjir besar yang melanda Kalimantan Selatan.

Red: Andri Saubani
Warga melintas di dekat puing-puing rumah akibat banjir bandang di Desa Waki, Kecamatan Batu Benawa,Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan (Kalsel), Rabu (20/1). Berdasarkan data BNPB, banjir besar yang terjadi Kalsel mengakibatkan 21 korban meninggal dan lebih dari 60 wibu warga mengungsi. (ilustrasi)
Foto: Antara/Bayu Pratama S
Warga melintas di dekat puing-puing rumah akibat banjir bandang di Desa Waki, Kecamatan Batu Benawa,Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan (Kalsel), Rabu (20/1). Berdasarkan data BNPB, banjir besar yang terjadi Kalsel mengakibatkan 21 korban meninggal dan lebih dari 60 wibu warga mengungsi. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andri Saubani*

Banjir besar dengan ketinggian 0,5-2 meter bahkan 4 meter terjadi sejak 10-17 Januari 2021 di 11 dari 13 kabupaten/kota di Kalimantan Selatan (Kalsel), kecuali Kabupaten Tabalong dan Kotabaru. Sebanyak 21 warga menjadi korban meninggal, sementara lebih dari 60 ribu warga Kalsel mengungsi.

Upaya pemulihan pascabanjir kini juga diselingi oleh ‘perang’ narasi penyebab terjadinya banjir. Kalangan pemerintah yang didukung oleh kementerian/lembaga/badan terkait menyoroti fenomena alam, sementara kalangan pro-lingkungan menuding, banjir Kalsel lantaran akumulasi kerusakan ekologis dengan terus terjadinya alih fungsi hutan di sekitar daerah aliran sungai (DAS) Barito.

Saat berkunjung ke Kalsel Senin (18/1) lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut banjir Kalsel sebagai, “Banjir besar yang mungkin sudah lebih dari 50 tahun tidak terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel).” Kata Jokowi, curah hujan yang sangat tinggi hampir 10 hari berturut-turut membuat Sungai Barito yang kapasitasnya 230 juta meter kubik kemasukan 2,1 miliar kubik air.