Amerika Seikat (AS) mengumumkan pada hari Rabu (27/01) bahwa mereka telah menangguhkan sementara penjualan senjata bernilai miliaran dolar ke Uni Emirat Arab (UEA) dan Arab Saudi.
Seorang perwakilan Departemen Luar Negeri menyebut langkah itu sebagai "tindakan administratif rutin" dengan mencatat bahwa langkah itu adalah standar bagi pemerintahan yang baru masuk untuk meninjau kesepakatan penjualan senjata berskala besar yang diprakarsai oleh pemerintahan sebelumnya.
Departemen Luar Negeri mengatakan penangguhan sementara akan memungkinkan pemerintahan Biden untuk memastikan "penjualan senjata AS memenuhi tujuan strategis kami untuk membangun mitra keamanan yang lebih kuat, operatif, dan mumpuni."
Penjualan yang telah ditunda antara lain adalah kesepakatan besar-besaran dengan UEA bernilai US$ 23 miliar (Rp 322 triliun), untuk memasok 50 jet tempur siluman Lockheed-Martin F-35. Kesepakatan itu dicapai pada hari-hari terakhir kepresidenan Donald Trump.
Belum jelas kesepakatan lain mana lagi yang mungkin ditangguhkan, karena pemerintahan Trump telah mengatur sejumlah penjualan ke negara-negara di Teluk Arab. Pada 29 Desember 2020, Departemen Luar Negeri juga menyetujui rencana penjualan 3.000 rudal kendali presisi, senilai US$ 290 juta (Rp 4,06 triliun) ke Arab Saudi.
Kala itu saat masih berkampanye, Joe Biden berjanji untuk menangguhkan penjualan senjata ke rezim represif Arab Saudi dalam upaya untuk mengendalikan perang yang dipimpin Saudi terhadap pemberontak di Yaman yang disokong Iran. Pemerintahan AS sebelumnya dianggap mengambil pendekatan yang tidak terlalu ketat, di mana Trump dengan bangga mengeskpor senjata dan memberikan harga yang mengesankan dalam satu pertemuan dengan Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman.
Namun, Kongres menolak menyetujui beberapa kesepakatannya, yang membuat pemerintahan Trump frustrasi. Sebaliknya, pemerintahan Trump mengecewakan anggota parlemen dengan menyatakan penjualan senjata ke Arab Saudi sebagai darurat nasional untuk mendorong tercapainya kesepakatan tanpa proses peninjauan Kongres.
"Presiden Trump hanya menggunakan celah ini karena dia tahu Kongres tidak akan menyetujui ... Tidak ada alasan 'darurat' baru untuk menjual bom ke Saudi untuk dijatuhkan di Yaman, dan hal itu hanya akan melanggengkan krisis kemanusiaan di sana," tutur Senator Demokrat Chris Murphy saat itu.
Center for International Policy, sebuah lembaga think-tank yang berbasis di Washington DC, mengkritik penjualan semacam itu, dengan mengatakan bahwa penjualan tersebut hanya memicu konflik di wilayah tersebut.
Pemerintahan Biden tidak merinci kesepakatan lain apa yang mungkin sedang ditinjau.
AS akan jadi tuan rumah KTT iklim
Sementara itu, Presiden AS Joe Biden pada hari Rabu (27/01) menandatangani serangkaian perintah yang ditujukan untuk menahan kenaikan suhu global dan mengumumkan bahwa Amerika Serikat akan menjadi tuan rumah KTT Iklim pada bulan April.
Presiden yang baru dilantik itu mengatakan AS harus mengambil peran utama dalam perang melawan perubahan iklim.
Biden, yang menandatangani perintah eksekutif pada hari pertamanya menggiring AS bergabung kembali ke dalam Perjanjian Iklim Paris. Ia juga telah menunjuk beberapa pakar lingkungan mengisi peran kunci dalam pemerintahannya, seperti mantan menteri luar negeri John Kerry sebagai utusan khusus iklimnya, sebuah posisi yang sekarang memiliki kursi di Dewan Keamanan Nasional.
"Sama seperti kita membutuhkan tanggapan nasional yang terpadu terhadap COVID-19, kita sangat membutuhkan tanggapan nasional yang terpadu terhadap krisis iklim karena krisis iklim nyata," kata Biden.
Biden telah menjadikan penanggulangan krisis iklim sebagai bagian penting program kerjanya. Pada Rabu (27/01), ia berulang kali menyebutnya sebagai "ancaman eksistensial" sekaligus peluang bagi ekonomi untuk tumbuh. Kebijakannya tersebut sangat kontras dengan pendahulunya.
rap/pkp (AFP, AP, dpa)