REPUBLIKA.CO.ID, PALANGKARAYA -- Bencana banjir yang melanda Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan pada Januari 2021 lalu, memang sangat memprihatinkan. Dampaknya tidak saja hanya menghancurkan harta benda dan infrastruktur tapi juga telah mengakibatkan korban jiwa.
Banjir yang terjadi merupakan beberapa gambaran fenomena geologi yang kerap terjadi. Namun demikian sudah seharusnya dilakukan pengkajian untuk merekayasa wilayah ini sehingga mempunyai tata kelola air yang baik untuk meminimalisir dampak yang terjadi.
Seperti yang dituturkan oleh Pakar Hidrogeologi dan Sumberdaya Air Dr. Sci. Rachmat Fajar Lubis kepada media lewat sambungan telepon, Selasa, 23 Februari 2021, bahwa dahulu Kalimantan dibangun dengan konsep tata ruang bebas banjir, namun dengan kondisi pertumbuhan saat ini, konsep tersebut tidaklah berlaku lagi.
“Seiring pertumbuhan pembangunan dan masyarakat di wilayah ini, menghasilkan perubahan konsep tata ruang. Ditambah lagi dengan perubahan iklim yang memunculkan event-event cuaca ekstrim seperti perubahan intensitas hujan yang terjadi belakangan ini, membuat konsep bebas banjir ini harus dikaji ulang,” kata Dr. Rachmat Fajar Lubis dalam rilisnya, Kamis (25/2).
Sebagai provinsi yang disebut-sebut memiliki sejarah banjir sejak 1823, Kalimantan Selatan memiliki keunikan secara geologi. Salah satu wilayah yang menjadi prioritas kajian ini adalah kota Barabai, yang berada di Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Kota ini secara geografis terbagi dalam tiga kawasan rawa, dataran rendah, dan wilayah pegunungan Meratus. Hingga secara alami kawasan ini memiliki siklus tata air (hidrologi) yang sangat rentan akan perubahan tata ruang yang secara langsung dapat merubah neraca keseimbangan air (water balance) yang ada.
“Ini bukan saja terhadap sistem tata air tetapi juga sistem lainnya. Ini sebabnya harus selalu ada Analisa Dampak Lingkungan yang akan terjadi apabila direncanakan akan ada suatu aktifitas baru di suatu wilayah yang berskala besar,” ungkap Peneliti Geoteknologi LIPI ini.
Barabai adalah sebuah kota kecamatan sekaligus pusat pemerintahan Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia. Barabai terletak di tepi sungai Barabai dan berjarak 165 km di sebelah utara Kota Banjarmasin, ibu kota provinsi.
Lokasinya yang terletak di kaki pegunungan Meratus dan bagian dari Daerah Aliran Sungai Barito menjadikan wilayah ini memiliki potensi banjir. “Untuk itu perlu perhitungan neraca aliran air, dan tata ruang/kota perlu dimodifikasi agar peristiwa banjir besar Januari 2021 ini tidak terulang lagi,” jelasnya.
Parkir Air
Sementara menurut Dr. Iwan Ridwansyah yang merupakan Peneliti dari Pusat Penelitian Limnologi LIPI, masyarakat perlu menambah kewaspadaan terhadap bencana hidrometeorologi. Bencana ini dapat berupa banjir dan tanah longsor.
“Selama musim hujan ini belum berakhir potensi terjadi bencana hidrometeorologi masih ada, terutama kondisi tanah sekarang sudah jenuh akibat terisi hujan sebelumnya,” jelas Dr.Iwan Ridwansyah.
Dampak yang diberikan oleh bencana di masa yang akan datang dapat diatasi dengan berbagai upaya, salah satunya yaitu perencanaan tata ruang kabupaten atau kota yang berpotensi tinggi terkena bencana harus dikelola ulang sesuai dengan analisis ilmiah berbasis kebencanaan.
“Perlu adanya strategi tempat parkir air, berdasarkan evaluasi yang telah terjadi disana,” katanya.
Di sisi lain, baik Rachmat Fajar Lubis dan Iwan Ridwansyah, sama-sama sepakat bila industri tidak perlu dihentikan karena terjadi musibah di daerah tersebut. Hal ini dikarenakan setiap industri yang beroperasi telah dikaji dan diaudit secara berkala oleh dinas-dinas terkait, termasuk langkah-langkah mitigasi bencana, agar keberadaannya tetap bermanfaat bagi masyarakat sekitar dan negara.
“Dalam kasus mitigasi bencana banjir, setiap industri wajib memperhitungkan upaya mitigasi di wilayah tersebut semisal dengan menyediakan tempat parkir air, atau upaya mengurangi besarnya air limpasan (run off) akibat aktifitas yang dilakukan,” tutup Iwan Ridwansyah.