REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Warga RW 10 Klaster Water Garden Grand Wisata, Desa Lambang Jaya, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat harus berurusan dengan hukum setelah digugat pengembang perumahan lantaran membangun tempat ibadah berupa musala.
"Gugatan yang semula dimediasi itu gagal, sehingga masuk dalam tahapan persidangan di Pengadilan Negeri Cikarang," kata warga setempat Rahman Kholid selaku tergugat melalui keterangan tertulis yang diterima, Jumat (26/2).
Dia mengatakan, warga digugat oleh PT Putra Alvita Pratama yang merupakan pengembang klaster milik Sinarmas Group. Gugatan itu bernomor perkara 326/Pdt.G/2020/PN Ckr yang berisi warga digugat dalam perkara wanprestasi.
Rahman menjelaskan, gugatan itu terkait pembangunan Musala Al Muhajirin yang dibangun di tengah klaster dengan dana hasil patungan warga. Mushola itu didirikan di atas tanah seluas 226 meter persegi yang dibeli warga dari pengembang pada tahun 2015 seharga Rp 1,6 miliar. Setelah mencicil selama beberapa tahun, tanah itu akhirnya lunas dan mulai dibangun musala.
"Tempat ibadah ini sangat kami butuhkan mengingat jarak masjid terdekat dengan rumah warga mencapai tiga kilometer, sehingga kami berinisiatif membangun mushola dengan dana patungan," kata Rahman.
Dalam prosesnya, kata dia, pembangunan mushola itu justru disoal oleh pihak pengembang, karena dinilai menyalahi aturan dengan alasan bahwa sesuai perizinan, tanah itu diperuntukkan bagi rumah tinggal.
"Katanya izinnya untuk rumah tinggal. Padahal dalam perjanjian jual beli dengan pengembang, penggunaan lahan itu dikuasakan pada pemilik, agar digunakan secara tanggung jawab. Tapi ternyata dipersoalkan hingga digugat karena dinilai wanprestasi," ujar Rahman.
Dia mengaku, sebenarnya warga tidak serta merta membangun mushola, melainkan terlebih dahulu menempuh perizinan mulai dari persetujuan warga hingga mengurus izin ke Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bekasi.
"Berdasarkan aturan, izin itu sebenarnya tinggal menunggu rekomendasi dari Dinas PUPR, seluruh persyaratannya telah dipenuhi, tapi pihak PUPR katanya minta harus ada persetujuan dari pengembang. Padahal dalam aturannya tidak harus. Ini yang juga jadi pertanyaan kami," kata Rahman.
Mennurut Rahman, seluruh warga turut meladeni proses gugatan tersebut. Bahkan, kaat dia, warga siap memenuhi persyaratan yang diajukan pengembang selaku penggugat namun dalam proses mediasi tidak tercapai kemufakatan. Pada sisi lain persyaratan yang diajukan pengembang itu pun melenceng dari substansi gugatan tentang wanprestasi.
Pengembang dinilai malah mengintervensi kegiatan mushola. Menurut dia, dalam persyaratan yang diajukan, penggugat melarang mushola yang didirikan warga menggelar shalat Jumat. Mushola juga tidak diperbolehkan mengumandangkan azan dengan pengeras suara serta dilarang menggelar pengajian.
"Ini sudah masuk dalam ranah menghalangi ibadah dan mengintervensi akidah kami sebagai seorang Muslim. Ini sebuah pelanggaran serius. Sebaliknya, tuduhan wanprestasi yang selama ini digadang-gadang sama sekali tidak disentuh dalam proses mediasi," kata Rahman.
Warga menilai gugatan itu tidak memenuhi unsur. Selain penggugat tidak fokus pada materi gugatan, pihak penggugat pun tidak pernah menghadirkan prinsipal. Padahal sesuai peraturan Mahkamah Agung, bilamana selama mediasi pihak prinsipal tidak hadir maka proses gugatan tidak bisa dilanjutkan.
Rahman menjelaskan setiap mediasi, sudah tiga sampai empat kali, prinsipal penggugatnya tidak pernah hadir. Dia menyebut, penggugat malah selalu mewakilkan kepada karyawannya. Hal otu berarti sebenarnya proses gugatan tidak bisa dilanjutkan.
"Kemudian soal izin pun sebenarnya kami sudah menempuh itu, jadi bukan tiba-tiba tanpa izin. Bahkan 95 persen warga klaster juga sudah menyetujui izin musala ini, termasuk warga non-muslim juga menyetujuinya, tapi kenapa pengembang mempersoalkannya," kata Rahman.
Sementara itu, pihak kuasa hukum penggugat dari PT Putra Alvita Pratama enggan memberikan keterangan saat ditemui awak media usai persidangan dengan agenda pembacaan gugatan.