REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Publik sedang ramai membicarakan soal perebutan kekuasaan di suatu partai. Setiap pihak saling klaim berhak dan pantas memimpin. Sebuah pemandangan yang biasa terjadi saat ini di banyak posisi, terlebih di jabatan-jabatan yang memiliki pengaruh bagi orang banyak.
Sebenarnya, bagaimana panduan Islam terkait kekuasaan atau jabatan? Bolehkah seorang Muslim meminta jabatan?
Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin menjelaskan, meminta-minta suatu jabatan adalah perbuatan yang dilarang. Hal ini dijelaskan sendiri oleh Rasulullah SAW.
Abu Sa’id ‘Abdurrahman bin Samurah berkata, Rasulullah saw berkata padaku,
يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ لاَ تَسْأَلِ الإِمَارَةَ ، فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا ، وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kekuasaan karena sesungguhnya jika engkau diberi kekuasaan tanpa memintanya, engkau akan ditolong untuk menjalankannya. Namun, jika engkau diberi kekuasaan karena memintanya, engkau akan dibebani dalam menjalankan kekuasaan tersebut.” (HR. Muttafaqunalaih)
Seseorang yang mengetahui dirinya tidak memiliki kecakapan memimpin menjadi salah satu golongan yang dilarang memimpin. Karena dia akan mengurusi urusan orang banyak dan kegagalannya akan berdampak buruk kepada orang lain secara luas.