REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Harga minyak menetap lebih rendah pada akhir perdagangan Senin (8/3), berbalik mundur dari tertinggi sesi di atas 70 dolar AS per barel. Sebelumnya, serangan terhadap fasilitas minyak di Arab Saudi mengangkat harga untuk pertama kalinya sejak pandemi Covid-19 dimulai.
Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Mei jatuh 1,12 dolar AS atau 1,6 persen, menjadi ditutup pada 68,24 dolar AS per barel. Brent sempat naik setinggi 71,38 dolar AS per barel di awal perdagangan Asia, tertinggi sejak 8 Januari 2020.
Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman April kehilangan 1,04 dolar AS atau 1,6 persen, menjadi menetap pada 65,05 dolar AS per barel. WTI mencapai puncak sesi 67,98 dolar AS per barel, tertinggi sejak Oktober 2018.
Harga Brent dan WTI telah naik selama empat sesi berturut-turut.
Pasukan Houthi Yaman menembakkan drone dan rudal di jantung industri minyak Saudi pada Ahad (7/3), termasuk fasilitas Saudi Aramco di Ras Tanura yang penting untuk ekspor minyak bumi. Riyadh mengatakan tidak ada korban jiwa atau kerugian harta benda.
"Situasi menguap ketika menjadi jelas bahwa tidak ada kerusakan pada fasilitas minyak terbesar di dunia itu," kata Bob Yawger, direktur energi berjangka di Mizuho.
Amerika Serikat menyatakan kekhawatirannya atas ancaman keamanan nyata ke Arab Saudi dan mengatakan akan meningkatkan dukungan untuk pertahanan Saudi.
"Kegiatan tersebut patut mendapatkan beberapa peningkatan premi geopolitik," kata Jim Ritterbusch, presiden Ritterbusch and Associates di Galena, Illinois.
Serangan itu menyusul langkah minggu lalu oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), Rusia dan sekutu penghasil minyak mereka, yang dikenal sebagai OPEC Plus, menyetujui secara luas tetap berpegang pada pemotongan produksi meskipun harga minyak mentah naik.
"Kesepakatan OPEC Plus minggu lalu untuk menahan produksi pada level yang hampir saat ini adalah perkembangan besar yang belum sepenuhnya didiskon," kata Ritterbusch.
Juga menambahkan dukungan, Senat AS menyetujui rancangan undang-undang stimulus AS sebesar 1,9 triliun dolar AS, yang diharapkan dapat meningkatkan permintaan bahan bakar karena perekonomian semakin meningkat. Data ekonomi dari Amerika Serikat dan China juga positif.