Selasa 16 Mar 2021 09:47 WIB

Militer Myanmar Perluas Darurat Militer

Sekitar 50 orang dilaporkan tewas dalam insiden bentrokan di Myanmar pada Ahad.

Rep: Lintar Satria/ Red: Teguh Firmansyah
 Para pengunjuk rasa membawa seorang demonstran yang terluka selama protes melawan kudeta militer di Kotapraja Hlaingthaya (Hlaing Tharyar), pinggiran Yangon, Myanmar,  Ahad (14/3). Protes anti-kudeta terus berlanjut meskipun penumpasan kekerasan yang intensif terhadap demonstran oleh pasukan keamanan.
Foto: STRINGER/EPA
Para pengunjuk rasa membawa seorang demonstran yang terluka selama protes melawan kudeta militer di Kotapraja Hlaingthaya (Hlaing Tharyar), pinggiran Yangon, Myanmar, Ahad (14/3). Protes anti-kudeta terus berlanjut meskipun penumpasan kekerasan yang intensif terhadap demonstran oleh pasukan keamanan.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Pemerintah militer Myanmar memperluas darurat militer di seluruh negeri. Langkah ini diterapkan satu hari setelah hari paling mematikan sejak kudeta 1 Februari lalu.

Sekitar 50 orang dilaporkan tewas ketika tentara dan polisi melepaskan tembakan ke arah pengunjuk rasa di berbagai daerah pada akhir pekan kemarin. Pengunjuk rasa menuntut militer membebaskan pemimpin pemerintah sipil Aung San Suu Kyi dan pemimpin-pemimpin partai National League for Democracy (NLD) yang memenangkan pemilihan umum bulan November lalu.

Baca Juga

Militer mengklaim pemilihan tersebut diwarnai kecurangan. Hingga kini Suu Kyi masih ditahan di lokasi yang tidak diketahui dan para pendukungnya mengatakan dakwaan terhadapnya direkayasa. Ia harusnya tampil melalui video konferensi di sidangnya Senin (15/3) kemarin tapi sidang ditunda karena masalah internet.

Pada Selasa (16/3) BBC melaporkan awalnya militer mendeklarasikan darurat militer di dua distrik di Yangon, kota terbesar di Myanmar pada Ahad (14/3) kemarin. Setelah pabrik-pabrik China diserang. Lalu darurat militer diberlakukan di sejumlah wilayah lain di Yangon dan Mandalay. Kini pengunjuk rasa dapat diadili di pengadilan militer.

Pengunjuk rasa yakin China mendukung militer Myanmar tapi belum diketahui siapa di balik serangan pabrik-pabrik China akhir pekan kemarin. Sebagian besar korban jiwa dilaporkan di Yangon.

Baca juga : Legenda Inggris Komentari Performa Manchester City

Organisasi pemantau kekerasan terhadap aktivis politik, Assistance Association for Political Prisoners (AAPP) mengatakan hingga kini kekerasan petugas keamanan terhadap pengunjuk rasa telah menewaskan 120 orang lebih. Pada Senin kemarin pengunjuk rasa kembali turun ke jalan di sejumlah lokasi.

Korban berjatuhan setelah pasukan keamanan melepaskan tembakan ke pengunjuk rasa di pusat kota Myingyan dan Aunglan. Militer berkuasa selama lebih dari 50 tahun di Myanmar yang merdeka dari Inggris pada tahun 1948.

Militer mendakwa Suu Kyi atas kepemilikan talkie-walkie dan melanggar peraturan pembatasan sosial Covid-19. Ia dapat dihukum penjara selama beberapa tahun dan membuatnya dilarang maju dalam pemilihan umum berikutnya.

Pekan lalu militer juga menuduhnya menerima uang ilegal sebesar 600 ribu dolar AS dan emas seberat 11 kilogram. NDL membantah tuduhan tersebut. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement